Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah menetapkan harga khusus penjualan batubara untuk kepentingan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO), pemerintah akan menetapkan harga khusus untuk gas bumi untuk pembangkit listrik.
Upaya mematok harga gas ini dilakukan sebagai cara memangkas biaya produksi listrik PT Perusahaan Listik Negara (PLN) yang bersumber bahan gas yang harganya masih tinggi. Ini merupakan konsekuensi pemerintah melarang PLN menaikkan tarif listrik hingga akhir tahun 2019. Mau tidak mau, biaya BUMN itu harus dipangkas.
Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andy Noorsaman Sommeng menjelaskan, harga gas pembangkit diatur dalam Permen ESDM No 45/2017 tentang Pemanfaatan Gas Bumi Untuk Pembangkit Listrik. Ketentuannya, harga gas setara 14,5% dari harga Indonesia Crude Price (ICP)
Masalahnya, saat ini, harga ICP sudah mencapai US$ 60 per barel. Alhasil, 14,5% dari harga Indonesia Crude Price itu sudah setara US$ 8,7 per mmbtu. Walhasil, "Perlu ada treatment khusus untuk harga gas pembangkit," ungkap dia.
Andy mengusulkan, harga gas di plant gate sekitar US$ 7-US$ 8 per mmbtu. "Kalau mau aman harga gas listrik harus dikunci," ungkapnya.
Kementerian ESDM saat ini masih melakukan diskusi dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. (SKK Migas). Namun Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher mengatakan, belum mendapat info rencana patokan harga gas untuk pembangkit listrik.
Direktur Perencanaan PLN Syovfi Roekman mengaku, PLN setuju dengan rencana pemerintah agar harga listrik bisa turun. "Kementerian ESDM ada pemikiran kesana. Setelah batubara seharusnya harga gas (dipatok)," ujarnya.
Hanya, Syofvi belum mau membeberkan mekanisme pemerintah. Yang jelas, PLN ingin harga gas pembangkit bisa lebih murah. "Prinsipnya, harga listrik tak naik dan bagaimana caranya menurunkan tarif," tandasnya. Secara nasional hingga akhir 2017 bauran energi pembangkit listrik masih didominasi batubara, 58,3%,gas 23,2%, bahan bakar minyak 6% serta energi baru dan terbarukan (EBT) 12,52%
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rahmanto mengatakan kebijakan DMO gas hal wajar. Ia mengusulkan, kebijakan patokan ini jangan disamaratakan di setiap lapangan gas. "Dampaknya penerimaan negera akan turun," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News