Reporter: Leni Wandira | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Eastern Regional Organization for Planning and Human Settlements International (Earoph) Emil Elestianto Dardak mengatakan bahwa sewa perkantoran di Jakarta lesu seiring dengan berpindahnya ibu kota negara ke Kalimantan Timur.
Emil menyebut Kota Jakarta akan mengalami proses kemunduran kota (inner city decline) pasca tidak lagi menyandang status sebagai ibu kota negara.
Di sisi lain, fenomena kemunduran aktivitas di pusat kota tersebut akan diikuti dengan pesatnya perkembangan daerah-daerah penyangganya.
Baca Juga: Kementerian Khusus Perumahan Bisa Dongkrak Pertumbuhan Sektor Properti
“Meski berkembangnya daerah penyangga itu baik, tetapi perkembangan kota-kota pinggiran Jakarta juga membawa konsekuensi lain karena Jakarta masih harus membiayai penanganan banjir dan melakukan ekspansi fasilitas transportasi publik," kata Emil pada acara Urban Dialogue bertema “Jakarta Menuju Kota Global: Tantangan dan Solusi” yang diadakan Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Jakarta, Senin (3/6).
Karena itu, kata dia, Jakarta harus tetap dijaga agar tetap relevan meski tidak lagi menyandang status sebagai ibu kota negara.
Menurutnya, meski jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) yang pindah ke IKN di Kalimantan Timur tidak sampai 100.000 orang, namun dipastikan business process-nya akan membawa dampak baik signifikan maupun tidak.
"Salah satu efek nyata penurunan aktivitas di Jakarta nantinya adalah sekolah-sekolah semakin sulit untuk mencari siswa karena sebagian besar masyarakat termasuk pasangan usia muda lebih memilih tinggal di daerah penyangga kota karena harga rumahnya masih terjangkau," ungkapnya.
Tren beralihnya minat masyarakat yang dahulu ke Jakarta untuk berbelanja di mal, tetapi sekarang lebih memilih nge-mal di kawasan pinggiran kota juga menjadi dampak dari fenomena kemunduran pusat kota. Padahal daya tarik Jakarta selama ini adalah banyaknya pusat perbelanjaan yang mentereng.
Situasi serupa, ungkap Emil, juga terjadi di hampir semua kota besar di dunia. Bahkan di Amerika Serikat (AS), banyak mal-mal kini sepi dan sebagian sudah dikonversi menjadi gudang logistik.
“Fenomena lain, permintaan ruang kantor di Jakarta dikabarkan sedang lesu. Bahkan kita lihat sekarang para start-up (perusahaan rintisan) dan perusahaan multinasional memilih pindah kantor di sekitar Jakarta seperti BSD City,” sebutnya.
Baca Juga: Pasar Hunian Lansia Diproyeksi Prospektif, Ini Alasannya
Emil menjelaskan, selain perpindahan ibu kota negara, penyebab lain terjadinya inner city decline adalah adanya sub-urbanisasi dan terjadinya perubahan pola mobilitas masyarakat karena semakin banyak pekerja menerapkan remote work.
Hal lain yang memengaruhi yakni pesatnya pembangunan infrastruktur terutama jalan tol di Jabodetabek yang membuat jarak antar wilayah menjadi semakin dekat. “Ini realita dan fakta yang sedang dihadapi Jakarta” ujarnya
Ke depan sebagai megapolitan polycentric, kata Emil, Jakarta harus mempertimbangkan empat hal penting ini. Pertama, perlunya dilakukan revitalisasi kawasan pusat Kota Jakarta seperti di kawasan sekitar Monas dan GBK.
"Hal ini agar Jakarta tetap memiliki daya tarik bagi masyarakat beraktivitas selain berkantor atau berbelanja," jelas dia.
Kedua, aksesibilitas dari pusat kota ke kawasan luar kota harus terus ditingkatkan untuk memudahkan mobilitas warga.
Ketiga, sebagai megapolitan polycentric Jakarta tetap perlu menjaga interaksi kawasan pusat kota dengan interaksi lintas sub-urban termasuk eksistensi fungsi ekonomi dan permukiman. Keempat, Jakarta harus terus menjaga keberlanjutan fungsi jasa perdagangan dan hunian.
Konsep megapolitan polycentric memungkinkan warga yang tinggal di kota penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek) dapat beraktivitas di tempatnya masing-masing.
"Hal itu karena pusat bisnis dan ekonomi telah berkembang pesat di daerah-daerah sekitar Jakarta, serta sudah terkoneksi dengan jaringan infrastruktur," pungkasnya.
Baca Juga: Iuran Tapera, Kemnaker Pastikan Belum Ada Pemotongan Gaji Pekerja Non-ASN
Sementara itu, Kurator IKN Nusantara, Ridwan Kamil mengatakan peralihan status Jakarta dari ibu kota negara menjadi daerah khusus tidak serta merta langsung mengubah Jakarta.
Menurutnya, pengalaman negara-negara lain yang telah memindahkan ibu kota negara dibutuhkan waktu puluhan tahun, bahkan ada yang mencapai 100 tahun seperti Washington DC di Amerika Serikat.
“Tiba-tiba dalam waktu hanya 5-10 tahun langsung terjadi perubahan, tentu tidak sesederhana itu,” ungkapnya di diskusi yang sama.
Ridwan Kamil menilai tantangan Jakarta dalam 5-10 tahun mendatang adalah tetap memperhatikan krisis iklim dan kualitas kehidupan masyarakatnya. Selain itu, saat ini jarak tidak lagi ditentukan oleh kilometer, tetapi sudah ditentukan waktu. Dia memberi contoh dari Jakarta-Bandung dengan kereta cepat hanya butuh waktu tempuh 30 menit.
“Artinya nanti jarak menjadi tidak relevan jika public transportation menjadi gaya hidup. Poinnya, hidup itu harus cepat move on dan beradaptasi. Jadi, tidak bisa lagi kita mengelola dan mengurusi Jakarta dengan logika lama,” tegas Ridwan Kamil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News