kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Simulasi perbandingan perhitungan pajak UKM


Kamis, 11 Juli 2013 / 13:46 WIB
ILUSTRASI. Devin Finzer - OpenSea


Reporter: Arief Ardiansyah, Anastasia Lilin Y, Asep Munazat Zatnika, Francisca Bertha Vistika | Editor: Imanuel Alexander

 Jakarta. Dalih Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dalam menarik pajak dari kalangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) cukup sederhana. Aparat ajak membandingkan para pelaku usaha dengan buruh pabrik. Dengan gaji sedikit di atas upah minimum provinsi, buruh pabrik harus menyetor pajak.

Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany mencoba mengusik rasa keadilan dari para pelaku usaha. Paling tidak, para pelaku usaha memiliki penghasilan yang lebih tinggi dari buruh pabrik. Namun, Fuad menyadari ada kesulitan tersendiri bagi pelaku UMKM dalam menghitung, membayar, dan melaporkan aktivitas perpajakan.

Inilah yang akhirnya mendasari penetapan pajak penghasilan (PPh) untuk UMKM bersifat final sebesar 1% melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Aturan ini untuk memudahkan UMKM membayar pajak. Toh, tanpa aturan ini, pelaku usaha tetap harus membayar pajak. “Dengan aturan ini, pembayaran pajak bisa lebih mudah,” kata Fuad.

Selain kemudahan administrasi, Kepala Seksi Hubungan Eksternal Ditjen Pajak Chandra Budi menambahkan, pendekatan perpajakan di sektor ini juga berorientasi pada edukasi. Ditjen Pajak ingin UMKM memenuhi kewajiban perpajakan tanpa terbebani biaya-biaya.

Selama ini, pembayaran PPh dihitung dari penghasilan neto. Tarif PPh untuk wajib pajak orang pribadi (WP OP) bersifat progresif dari 5%–30%. Adapun untuk WP badan sebesar 25%. Sedangkan WP badan dengan omzet di bawah Rp 50 miliar hanya membayar separuh tarif PPh badan atau 12,5%. Bagi WP OP dan badan yang belum memiliki pembukuan, bisa membayar PPh sesuai norma penghitungan penghasilan neto yang diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak No. 536/PJ./2000.

Berlaku untuk semua

Chandra mengatakan, kewajiban membayar PPh final sebesar 1% berlaku untuk semua WP dengan omzet di bawah Rp 4,8 triliun. Ke depan, WP OP dan WP badan yang sebelumnya menyetor pajak dengan norma dan penghasilan neto, tetap harus membayar PPh secara final. “Perubahan skema hanya dimungkinkan bila WP mengalami perubahan omzet di atas ketentuan PP,” ujar Chandra.

Pengamat pajak Agus Susanto Lihin menjelaskan, penetapan PPh yang bersifat final memang memudahkan pelaku usaha. Umumnya, pelaku usaha belum familiar membuat pembukuan usaha untuk menghitung pajak. Tapi, “Jika wajib pajak mengalami kerugian, mereka tidak bisa membebankan kerugian tersebut ke tahun berikutnya dan tetap harus membayar pajak,” jelas dia.

Kerugian tak berhenti di situ. Bagi WP OP, penghasilan kena pajak mereka masih dikurangi penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Adapun PPh WP badan tetap bisa mengurangkan aneka biaya-biaya yang dikeluarkan dalam tahun pajak. Namun ke depan, pelaku UMKM harus membayar pajak sesuai tarif tanpa memperhitungkan biaya yang telah mereka keluarkan atau besaran PTKP.



Hanya, Chandra membantah bila WP banyak dirugikan dari PPh yang bersifat final. Karakteristik pajak final itu kemudahan dan kesederhanaan. Dari situ, menurut dia, secara tidak langsung dalam formulasi penghitungannya sudah memasukkan seluruh biaya bagi WP badan atau PTKP untuk WP OP.

Barangkali pertimbangan ini yang mendasari besaran tarif PPh UMKM sebesar 1%.Lebih jauh, pengamat pajak Darusalam menyatakan, penetapan pajak final 1% atas omzet UMKM sama-sama menguntungkan dan merugikan, baik pelaku usaha dan pemerintah. “Ada yang karena aturan ini mendapat tambahan atau justru pengurangan,” katanya.

Hitungan KONTAN membuktikan pernyataan tersebut. Semakin kecil marjin laba yang diraup sebuah usaha, maka pelakunya harus membayar PPh lebih besar dari ketentuan sebelumnya (lihat tabel Simulasi Perbandingan Perhitungan Pajak UKM). Bagi WP OP, setoran PPh lama baru setara dengan PPh anyar bila punya marjin laba 10%. Adapun untuk WP badan dengan marjin laba 8% membayar PPh dalam jumlah sama baik di skema lama maupun baru yang bersifat final.

Yang pasti, aturan ini masih tergolong umum. Sebab, tetap ada celah yang bisa dimanfaatkan untuk mendapat pajak murah. Untuk itu, Ditjen Pajak harus membuat aturan turunan yang lebih ketat untuk menghindari penyalahgunaan.


***Sumber : KONTAN MINGGUAN 41 - XVII, 2013 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×