kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.932.000   3.000   0,16%
  • USD/IDR 16.324   50,00   0,31%
  • IDX 7.906   -21,15   -0,27%
  • KOMPAS100 1.110   -3,68   -0,33%
  • LQ45 818   -11,31   -1,36%
  • ISSI 266   0,54   0,20%
  • IDX30 424   -4,89   -1,14%
  • IDXHIDIV20 492   -5,66   -1,14%
  • IDX80 123   -1,56   -1,25%
  • IDXV30 132   -0,72   -0,54%
  • IDXQ30 137   -1,77   -1,27%

Subsidi Listrik Melambung Rp 105 Triliun, Pengamat: Hanya 20% Dinikmati Warga Miskin


Senin, 07 Juli 2025 / 15:50 WIB
Subsidi Listrik Melambung Rp 105 Triliun, Pengamat: Hanya 20% Dinikmati Warga Miskin
ILUSTRASI. Warga mengisi pulsa listrik di Rumah Susun Benhil, Jakarta, Rabu (9/4/2025). Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memastikan tarif listrik khususnya untuk 13 golongan pelanggan non subsidi, pada periode April-Juni 2025 atau Triwulan II 2025 ini tidak mengalami kenaikan, masih sama seperti tarif pada periode sebelumnya. (KONTAN/Carolus Agus Waluyo)


Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Permintaan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk meningkatkan subsidi listrik  pada tahun 2026 dengan nilai kisaran Rp 97,37 miliar hingga hampir Rp 105 triliun, menurut ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat tidak tepat sasaran. 

Asal tahu saja, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XII DPR RI, Senin (30/6), Direktur Jenderal Ketenagalistrikan ESDM, Jisman Hutajulu mengatakan angka subsidi yang diajukan sepanjang 2026 lebih tinggi dibandingkan dibandingkan dengan angka subsidi tahun ini yaitu sebesar Rp 87,72 triliun. 

Artinya, akan ada tambahan subsidi kurang lebih sebesar Rp 17 triliun atau naik 16,45%. 

Terkait permintaan ini, menurut Achmad jika realisasi kurs melemah ke Rp16.900 per dolar AS dan Indonesian Crude Price (ICP) bertahan di US$ 80 per barel, subsidi bisa melambung hingga Rp105 triliun. 

"Angka ini sangat besar, setara hampir 5% dari total belanja negara untuk kesehatan dan pendidikan di RAPBN," ungkap Achmad dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan, Senin (07/07). 

Baca Juga: Subsidi Listrik Diusulkan Capai Rp 104,97 Triliun di Tahun 2026

Dalam penjelasannya, Achmad mengungkap bahwa berdasarkan Data World Bank (2017) dan Asian Development Bank (2021) menunjukkan 40% rumah tangga terkaya (desil 7–10) menikmati 50–60% subsidi listrik, sedangkan 40% rumah tangga termiskin hanya menikmati sekitar 20–25% subsidi.

"Ini karena desain subsidi kita berbasis tarif dan golongan, bukan berbasis kondisi sosial ekonomi riil," jelasnya. 

Sebagai contoh, banyak rumah tangga kaya di perumahan elite yang masih menggunakan golongan subsidi 900VA atau bahkan 450VA. 

Di sisi lain, rumah tangga miskin di wilayah rural terpencil kerap belum teraliri listrik PLN sama sekali, atau jika pun ada, konsumsinya sangat kecil sehingga subsidi yang mereka nikmati pun dalam kadar minimal.

Solusi Tepat Sasaran dalam Subsidi Listrik 

Dalam penerapannya subsidi listrik, yang pertama, Achmad mengatakan perlu adanya reformasi subsidi bertarget, yang menggunakan basis data Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan data rekening listrik. 

"Rumah tangga miskin dan rentan dengan daya 450VA dan 900VA pra bayar perlu tetap mendapatkan subsidi penuh. Sementara rumah tangga menengah dan kaya di golongan tersebut perlu diverifikasi dan diubah menjadi tarif non-subsidi," jelasnya. 

Yang kedua, mengalihkan sebagian subsidi menjadi investasi transisi energi terbarukan, salah satunya pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap. 

Baca Juga: Subsidi Listrik 2025 Berpotensi Membengkak Jadi Rp 90,32 Triliun, Ini Sebabnya

"Program PLTS atap skala rumah tangga untuk desa-desa terpencil terbukti menurunkan biaya pokok penyediaan listrik PLN hingga Rp 200 juta per desa per tahun," tambahnya. 

Ketiga, memberikan bantuan langsung tunai (BLT) listrik bagi kelompok miskin sebagai kompensasi bila harga listrik disesuaikan. 

"World Bank (2023) menyebutkan BLT jauh lebih efektif dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin dibanding subsidi harga energi," katanya. 

Keempat, melakukan efisiensi operasi PLN dengan renegosiasi harga IPP (Independent Power Producer) dan revisi kontrak take or pay pembangkit yang tidak efisien. 

"Biaya pokok penyediaan listrik nasional masih tinggi karena struktur kontrak yang tidak optimal di masa lalu," ungkapnya. 

Kelima, memperkuat penerimaan negara melalui carbon pricing untuk sektor energi, sehingga hasil penerimaan pajak karbon dapat diterima dari skema Emission Trading System (ETS).

"Ini dapat digunakan untuk menutup sebagian subsidi listrik sambil mendorong transisi energi hijau," tutupnya. 

Baca Juga: Ini Tarif Listrik untuk Pelanggan Subsidi dan Non-subsidi Per 1 Juli 2025

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Tag


TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Powered Scenario Analysis AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004

[X]
×