kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Tahun 2015, pasar properti terjerembap?


Kamis, 09 Oktober 2014 / 09:47 WIB
Tahun 2015, pasar properti terjerembap?
ILUSTRASI. Diskon Tarif Tol Arus Balik Lebaran 2023 Berlaku Hari Ini (27/4), Cek Jadwal One Way


Sumber: Kompas.com | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA.  Berbagai indikator yang memperlihatkan pertumbuhan negatif,  dikhawatirkan dapat memicu pasar properti bakal terpuruk pada tahun 2015 mendatang. Terlebih jika nilai tukar rupiah masih fluktuatif cenderung terus melemah, ekonomi melambat, dan hilangnya stimulus dari bank sentral AS.

Senior Associate Director Office Service Colliers International Indonesia, Sutrisno R Soetarmo, tak menampik pasar properti bakal terus tertekan pada tahun depan. Terutama bila berbagai indikator ekonomi tidak menampakkan pemulihan. Hal itu ditandai dengan menurunnya kinerja pasar perkantoran komersial akibat penundaan aksi ekspansi perusahaan domestik dan asing maupun perusahaan yang baru akan menjajaki pasar Indonesia.

"Fenomena kemerosotan kinerja sektor properti terutama perkantoran komersial sebetulnya sudah terlihat sejak awal 2014. Terjadi koreksi harga sewa akibat permintaan mengalami kontraksi. Pasar perkantoran yang sebelumnya diprediksi pulih setelah mengalami perlambatan penyerapan pada 2013, ternyata berjalan tidak sesuai ekspektasi," papar Sutrisno, Selasa (7/10). 

Kenyataannya, lanjut dia, tingkat serapan tidak mengalami kenaikan. Sejak awal tahun sampai September 2014 tingkat serapan hanya pada level 200.000 meter persegi, sementara proyeksi 400.000 meter persegi.

Beberapa pemilik dan pengelola gedung perkantoran, baik yang bertarif dollar AS maupun rupiah, sudah mulai menyesuaikan harga sewa sejak awal semester dua ini. Tak hanya mengoreksi harga sewa transaksi, melainkan juga harga sewa penawaran. 

Konsultan properti global lainnya, Knight Frank Indonesia bahkan mencatat, tingkat serapan perkantoran pada kuartal III tahun ini hanya seluas 1.008 meter persegi. Ini artinya, rekor terendah dalam sepuluh tahun terakhir. 

Director Commercial Knight Frank Indonesia, Sindiani Surya Adinata, menyebutkan, rendahnya tingkat serapan perkantoran ini bukan karena terbatasnya pasokan, melainkan melemahnya permintaan. 

"Banyak perusahaan skala multinasional yang sebelumnya berencana ekspansi untuk memperluas bisnisnya, justru menundanya dan lebih memilih wait and see. Mereka sebelumnya menunggu Pemilihan Presiden hingga Joko Widodo (Jokowi) terpilih, tapi setelah itu menunggu lagi hingga kemudian kabinet yang sesuai preferensi pasar terpilih sampai kemudian mereka postponed," papar Sindiani, kepada Kompas.com, Rabu (8/10).

Dia menambahkan, kendati kondisi politik tidak secara langsung dapat memengaruhi bisnis properti, karena merupakan investasi jangka panjang (long term investment), namun investor asing sangat mempertimbangkan stabilitas politik dan keamanan. 

"Pasar akan sangat menunggu dengan antusias apakah Jokowi mampu membentuk kabinet yang sesuai dengan preferensi mereka," ujar Sindiani.

Sementara pendiri Ciputra Group, Ciputra, justru optimistis, pasar properti Indonesia dapat terus bertahan dalam dua hingga tiga tahun ke depan. Kendati ekonomi melemah dan tingkat inflasi berpotensi melonjak akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

"Kita akan terus berkembang. Kita ciptakan market sendiri. Karena kalau tidak ada market, properti akan lambat. Pasar properti Indonesia paling bagus dalam dua hingga tiga tahun ke depan. Kita akan bangun market menjadi lebih berkembang," urai Ciputra, Rabu (8/10/2014).

Ciputra yakin, Indonesia bahkan masih akan lebih baik di antara sesama negara Asia Tenggara lainnya jika Masyarakat Ekonomi ASEAN berlaku pada 2015 mendatang.

"Meskipun ada potensi hambatan kenaikan BBM yang memicu inflasi, properti justru lebih laku. Investor akan memilih properti ketimbang deposito. Kalau dananya ditempatkan di bank, bunganya tetap, belum lagi dipotong cost of fund. Biaya uang jadi naik. Mending beli properti," papar Ciputra. (Hilda B Alexander)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×