Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Industri non-migas kini sudah mulai melirik penerapan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) sebagai solusi cepat melakukan dekarbonisasi.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji menyatakan, saat ini sudah ada 15 proyek CCS/CCUS yang dapat diandalkan untuk mengakomodasi emisi dari sektor industri non-migas seperti semen, baja, dan lainnya.
“Jadi gas Co2 dimasukkan ke dalam lapangan migas, tetapi ini harus bekerja sama dengan operator lapangan migas itu,” ujarnya ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Senin (16/10).
Tutuka memaparkan, kebijakan terkait CCS/CCUS yakni Peraturan Menteri No 2 Tahun 2023 baru memayungi kegiatan injeksi karbon ke dalam reservoar untuk meningkatkan produktivitas hidrokarbon di suatu lapangan migas atau biasa dikenal sebagai CCUS.
Baca Juga: Perpres CCS/CCUS Segera Terbit, Ini Bocoran Poin-Poin Pentingnya
Sedangkan, Permen tersebut belum bisa mengakomodasi kegiatan injeksi dan penangkapan karbon dari industri non-migas ke dalam saline aquifer atau dikenal sebagai CCS.
“Untuk itu harus menunggu Peraturan Presiden yang sedang kita kejar mudah-mudahan dalam bulan ini, harmonisasi sudah selesai. Ada beberapa catatan dari kementerian,” terangnya.
Diharapkan, Perpres CCS/CCUS ini bisa dikebut dan rampung di akhir tahun ini.
Saat ini, sejumlah industri non-migas sudah mulai menyatakan minat memanfaatkan teknologi penangkapan karbon untuk membantu mencapai target dekarbonisasinya. Salah satu yang sudah menyampaikan ialah PT Pupuk Indonesia.
Direktur Transformasi Bisnis Pupuk Indonesia, Panji Winanteya Ruky menjelaskan, industri pupuk merupakan emiter gas rumah kaca (GRK) yang besar yakni sebesar 12 juta ton CO2e pertahun karena memproduksi hampir 21 juta ton urea dan ammonia setiap tahunnya.
“Kalau kami memenuhi permintaan pemerintah harus mengurangi 25 juta ton di 2060 ini tantangan besar. Dalam rencana perusahaan kami jangka panjang, dekarbonisasi sudah ada roadmapnya,” ujarnya dalam acara Tripatra Sustainable Engineering Summit di Jakarta, Jumat (13/10).
Salah satu cara yang bisa ditempuh untuk mencapai target tersebut, ialah penerapan teknologi penangkapan karbon (CCS). Dia menilai, perlu kerangka kebijakan yang dapat memayungi industri hilir memanfaatkan teknologi ini. Pasalnya saat ini kebijakan penerapan CCS baru ada untuk industri hulu migas.
“Padahal kami butuh CCS itu yang bisa quick win dilakukan,” imbuhnya.
Selain memanfaatkan CCS, Panji menyebut, target dekarbonisasi Pupuk Indonesia sejatinya dapat dilaksanakan dengan berbasis pada satu asumsi, yakni Indonesia memiliki teknologi untuk amonia hijau (green ammonia) sebagai bahan baku pupuk yang masif dan terjangkau.
Demi mendukung produksi amonia hijau tersebut, Pupuk Indonesia membutuhkan pasokan sumber energi listrik bersih yang besar. Di dalam perencanaannya, perusahaan pupuk pelat merah ini membutuhkan listrik bersih hingga 7 Giga Watt (GW) di 2050.
Baca Juga: Kementerian ESDM: Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Melampaui Target
Staf Ahli Menteri Perindustrian Bidang Penguatan Kemampuan Industri Dalam Negeri, Ignatius Warsito menyatakan, sejumlah industri sudah melihat teknologi CCS/CCUS sebagai salah satu solusi menurunkan emisi.
“Kami merancang suatu PP (Peraturan Pemerintah) pemanfaatan LNG untuk kebutuhan dalam negeri, di situ kami juga menambahkan bagaimana perluasan penerapan CCS/CCUS di dalam sektor industri,” terangnya.
Aturan tersebut masih dalam tahap pendalaman materi. Namun, diharapkan pemanfaatan energi lain dan perluasan teknologi penangkapan karbon dapat meningkatkan efisiensi energi hingga 50%.
Selain itu, pihaknya juga mengakselarasi upaya penggantian energi di sektor industri menjadi ramah lingkungan yang tata kelola energi terbarukannya didiskusikan bersama dengan Kementerian ESDM.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News