Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kejaksaan Agung telah menetapkan tiga perusahaan sawit, yaitu Wilmar, Musim Mas, dan Permata Hijau, sebagai tersangka pidana dalam upaya mereka untuk mengendalikan harga minyak goreng.
Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, mencatat bahwa kebijakan ini menempatkan perusahaan-perusahaan ini dalam posisi yang tidak menguntungkan.
Agus menyarankan transparansi dan kepastian hukum bagi pelaku usaha. Ketidakpastian hukum ini bisa membuat mereka ragu untuk berpartisipasi dalam program pemerintah di masa depan.
Baca Juga: Airlangga Hartarto Penuhi Panggilan Kejagung di Kasus Izin Ekspor CPO
Ini juga berpotensi berdampak negatif pada iklim investasi, sebagaimana dikatakan oleh Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono.
Hasil kajian Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dalam pengendalian harga minyak goreng sejak awal sudah salah sasaran.
Kebijakan tersebut berfokus pada subsidi minyak kemasan, sementara 61% konsumsi minyak goreng rumah tangga adalah minyak curah. Infrastruktur yang mendukung kebijakan ini juga dinilai kurang efektif.
Kebijakan pemerintah dalam mengendalikan harga minyak goreng juga disoroti karena berubah-ubah, terakhir adalah Permendag Nomor 3 Tahun 2022 yang memberikan subsidi juga pada minyak goreng kemasan dari minyak goreng curah.
Baca Juga: Bongkar Pasang Kebijakan Dinilai Lahirkan Kisruh Minyak Goreng
Hal ini berpotensi memicu panic buying di pasar ritel modern. Padahal, pasar ritel modern hanya bisa memenuhi 10% dari kebutuhan konsumsi nasional.
Kajian INDEF juga mengkritik kebijakan DMO-DPO Kelapa Sawit (Domestik Market Obligation/Pasokan Wajib Domestik-Domestik Price Obligation/Penetapan Harga Domestik) yang berpotensi mendorong adanya pasar gelap. Perlakuan terhadap komoditas kelapa sawit juga harus berbeda dari komoditas batu bara, karena off taker-nya lebih dari satu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News