Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Pengusaha tambang nikel di Indonesia saat ini sibuk merealisasikan pembangunan pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter). Hal ini dilakukan di tengah harga nikel di pasar global lesu.
Pebisnis berharap saat proyek smelter beroperasi, harga nikel di pasar global sudah naik lagi. Sebagai gambaran, harga nikel di London Metal Exchange (LME), untuk cash buyer per 3 Februari mencapai US$ 15.370 per ton. Harga jual ini turun drastis jika dibandingkan dengan pertengahan 2014 yang mencapai lebih dari US$ 20.000 per ton.
Mag Faizal Emzita, Direktur Asosiasi Nikel Indonesia (ANI) optimistis potensi bisnis industri nikel masih cerah kendati saat ini harga melorot akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi di China. "Pengusaha dan investor juga sudah mulai yakin kebijakan mineral di Indonesia tetap konsisten, sehingga tak ada pilihan selain menyelesaikan smelter," kata dia ke pada KONTAN, Rabu (4/2).
Menurut dia, saat ini harga logam nikel masih cukup tinggi, jika dibandingkan dengan sebelum adanya larangan ekspor mineral mentah (ore) per 12 Januari 2014. Saat itu harga sempat melorot di bawah US$ 14.000 per ton.
Akibat larangan ekspor, saat ini pasar nikel dunia dikuasai oleh nikel asal Filipina. Namun, pasca selesainya proyek smelter, ia optimistis nikel Indonesia akan kembali menguasai pasar dunia.
Tahun ini setidaknya akan ada tiga smelter yang selesai pembangunan dan bisa berproduksi. Selain itu, ada beberapa perusahaan yang sedang menggenjot penyelesaian pembangunan smelter nikel di antaranya, PT Indoferro, PT Central Omega Resources Tbk, PT Zhongning Mining Metallurgy, PT Bintang Delapan Mineral, PT Berkat Resources Indonesia, dan PT Huadi Nickel Alloy.
Nilai tambah
Yohanes Supriadi, Corporate Secretary Central Omega Resources Tbk mengatakan, pihaknya melalui anak usaha PT COR Industri Indonesia, baru saja menetapkan partner baru yaitu PT Macrolink Nickel Development. "Kami sudah menyelesaikan basic engineering dan segera mulai pembangunan atau engineering procurement and construction (EPC)," ujar dia.
Perusahaan ini akan berinvestasi sekitar US$ 300 juta untuk membangun smelter berkapasitas produksi total 300.000 ton nickel pig iron (NPI) per tahun. Rencananya, pada tahap pertama smelter memiliki kapasitas 100.000 ton NPI per tahun akan beroperasi mulai 2016.
Dalam hitungan Direktur Utama Berkat Resources Tony Wenas, kegiatan pemurnian nikel lebih menguntungkan pengusaha ketimbang menjual bijih nikel. Sebagai contoh, bijih nikel dengan kadar Ni 1,2% harganya sekitar US$ 60 per ton, sedangkan bila sudah diproduksi menjadi logam NPI dengan kadar Ni 4% harga bisa mencapai US$ 600 hingga US$ 800 per ton.
Bahkan, bila diproduksi menjadi nickelmatte, feronikel, ataupun logam nikel harganya akan melesat hingga mencapai US$ 15.000 per ton. Karena itu, Berkat Resources berupaya mempercepat pembangunan smelter berkapasitas 10.000 ton NPI per tahun untuk segera memulai konstruksinya pada 2015 ini.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Edi Prasodjo mencatat perusahaan smelter yang beroperasi mulai 2015 sekitar 15 perusahaan. "Paling banyak smelter komoditas nikel ada juga pasir zirkon dan besi," kata dia.
Berdasarkan catatan KONTAN, perusahaan yang siap beroperasi 2015 ini antara lain PT Bintang Delapan Mineral dengan kapasitas 300.000 ton NPI per tahun, PT Huadi Nickel Alloy Indonesia berkapasitas 50.000 ton per tahun, atau PT Indoferro yang akan meningkatkan kapasitas 500.000 ton NPI per tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News