kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,59   7,24   0.78%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Transformasi energi tak terbendung, kini PLTS Atap mulai menciptakan bisnis baru


Jumat, 03 September 2021 / 15:01 WIB
Transformasi energi tak terbendung, kini PLTS Atap mulai menciptakan bisnis baru
ILUSTRASI. Kompleks perumahan pengguna Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap di Tangerang, Banten, Senin (7/9).


Reporter: Arfyana Citra Rahayu, Filemon Agung | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kebutuhan panel surya atap di tengah transisi energi pada masa pandemi Covid-19 ini semakin mendapat tempat di hati rakyat. Ini terbukti dari semakin berkembangnya bisnis panel surya dan maraknya pengembang properti membangun rumah dilengkapi atap surya. Semua ini merespon permintaan masyarakat atas Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang semakin tinggi dan terus meningkat.

Kita ketahui bahwa Indonesia sangat kaya akan energi terbarukan dengan potensi lebih dari 400.000 Mega Watt (MW), sebanyak 50% diantaranya atau sekitar 200.000 MW adalah potensi energi surya. 

Sementara pemanfaatan energi surya saat ini baru sekitar 150 MW atau 0,08% dari potensinya. Padahal, Indonesia adalah Negara khatulistiwa yang seharusnya bisa menjadi panglima dalam pengembangan energi surya.

Guna menumbuhkan minat pemakaian energi surya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyelesaikan revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 tahun 2018 tentang Penggunaan PLTS Atap.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Koservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan saat ini revisi Permen PLTS Atap sedang proses persetujuan Presiden. "Target rampung tentu setelah persetujuan presiden keluar, Insya Allah segera di bulan ini," jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (2/9). 

Dadan menyebutkan, ada beberapa poin yang tercantum dalam revisi Permen ESDM tentang PLTS Atap, berikut perinciannya; 

1. Ketentuan ekspor listrik akan lebih besar dari yang sebelumnya 65% menjadi 100% 
2. Kelebihan akumulasi selisih tagihan dinihilkan diperpanjang (dari semula pada bulan ke tiga menjadi pada bulan keenam) 
3. Jangka waktu permohonan PLTS Atap lebih singkat, dari semula 15 hari menjadi maksimal 12 hari untuk yang dengan perubahan Project Based Learning (PJBL) dan maksimal 5 hari untuk yang tanpa perubahan PJBL. 
4. Pelanggan PLTS Atap dan Pemegang Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik  (IUPTLU) dapat melakukan perdagangan karbon 
5. Mekanisme pelayanan diwajibkan berbasis aplikasi (saat ini masih manual) 
6. Perluasan tidak hanya pelanggan PLN saja tetapi pelanggan di wilayah usaha non-PLN ( saat ini hanya pelanggan PLN)
7. Adanya pusat pengaduan sistem PLTS Atap untuk menerima dan menindaklanjuti pengaduan atas implementasi PLTS Atap (saat ini belum ada)

Dadan mengatakan, pemanfaatan PLTS Atap diharapkan dapat mencapai 3,6 GW. Adapun, dengan jumlah ini maka penurunan emisi gas rumah kaca juga diharapkan dapat terjadi secara signifikan. "PLTS Atap kapasitas 3,6 GW bisa mengurangi potensi gas rumah kaca 4,58 juta ton," kata Dadan.

Selain itu, merujuk laporan International Renewable Energy (IRENA) pengembangan 3,6 GW PLTS Atap bakal berkontribusi pada penyerapan 121.500 ribu tenaga kerja. Selain itu, potensi meningkatnya investasi di kisaran Rp 45 triliun hingga Rp 63 triliun untuk pengembangan fisik.

Dadan menambahkan, bakal terjadi penghematan konsumsi batubara mencapai tiga juta ton per tahun seiring tingginya minat masyarakat dalam implementasi PLTS Atap.

Hal itulah yang membuat Kementerian ESDM juga mendorong penggunaan PLTS Atap di berbagai sektor perumahan, industri, dan perkantoran. Bahkan Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM juga telah melakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia. 

Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI), Paulus Totok Lusida mengatakan kerja sama yang sudah disepakati adalah pihak pengembang mengadakan sendiri (panel surya). 

"Nah kalo mengadakan sendiri atau pengembang beli sendiri, tentu hitung-hitungannya jadi besar. Keperluan (panel surya) untuk satu properti hunian masih mahal sehingga kurang begitu diminati para end user. Kami bangun rumah sesuai permintaan end user," jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (2/9). 

Totok mengatakan, nilai panel surya yang saat ini masih relatif mahal membuat pihak pengembang masih berat untuk menjalankan dengan optimal. Namun dia tidak menampik bahwa sudah ada sebagian pengembang yang mulai menjalankan untuk rumah non-subsidi. Biasanya rumah tersebut untuk segmen menengah ke atas dengan konsentrasi wilayah di Jabodetabek. 

Totok kembali menegaskan, meskipun beberapa pengembang sudah mulai menggunakan surya panel, tidak semua pelaku usaha bisa melakukan hal yang sama karena terganjal biaya yang mahal. 

"Untuk menurunkan harga panel surya bisa dengan meningkatkan konten lokal atau switch bantuan pemerintah yang selama ini ada. Misalnya saja bantuan Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum (PSU) dialihkan ke energi terbarukan, mestinya sih bisa," kata Totok. 




TERBARU

[X]
×