kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.596.000   -9.000   -0,35%
  • USD/IDR 16.805   35,00   0,21%
  • IDX 8.644   106,34   1,25%
  • KOMPAS100 1.196   14,99   1,27%
  • LQ45 852   6,61   0,78%
  • ISSI 309   4,03   1,32%
  • IDX30 439   3,37   0,77%
  • IDXHIDIV20 514   3,08   0,60%
  • IDX80 133   1,39   1,06%
  • IDXV30 139   1,20   0,87%
  • IDXQ30 141   0,87   0,62%

Transisi Teknologi dan Kebijakan Strategis untuk Masa Depan Industri Baja Nasional


Senin, 29 Desember 2025 / 14:23 WIB
Transisi Teknologi dan Kebijakan Strategis untuk Masa Depan Industri Baja Nasional
ILUSTRASI. Dok. Shutterstock


Reporter: Tim KONTAN | Editor: Indah Sulistyorini

KONTAN.CO.ID - Industri baja Indonesia perlu segera menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan agar mampu menjaga daya saing di pasar global yang menuntut standar “hijau”. Kebijakan strategis dari pemerintah dibutuhkan untuk mendorong industri baja menerapkan langkah ini sekaligus menjaga pertumbuhan pasar domestik.

Demikian rekomendasi Climate Catalyst dalam laporan mini pertama mereka: "Laporan Dekarbonisasi Baja Indonesia: Mendefinisikan Baja Rendah Karbon dan Permintaan Baja Global" yang dirilis pada 25 November 2025.

Lembaga nonprofit internasional yang bertujuan mempercepat pengurangan emisi di sektor industri berat ini melakukan kajian terhadap tantangan dan peluang industri baja Indonesia menghadapi kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang mulai diberlakukan oleh Uni Eropa.

Sebagai regulasi, CBAM bukan sekadar kebijakan lingkungan, melainkan instrumen perdagangan dan iklim yang sangat berpengaruh. Instrumen ini menambahkan harga karbon pada barang impor tertentu, termasuk baja, untuk memastikan bahwa produsen di luar Uni Eropa menanggung biaya karbon yang setara dengan perusahaan di dalam wilayah Sistem Perdagangan Emisi (Emission Trading System/ETS) Uni Eropa.

Di sisi lain, Indonesia bukan pemain kecil di panggung baja dunia. Data World Steel Association menempatkan Indonesia pada peringkat ke-15 produsen baja terbesar secara global pada tahun 2023. Dengan lonjakan produksi baja mentah mencapai 16,8 juta ton per tahun, Indonesia telah mengukuhkan posisinya dalam rantai pasok regional.

Meskipun saat ini ekspor baja Indonesia ke Uni Eropa hanya mencakup 3,8% dari total ekspor, kerentanannya tidak dapat disepelekan. Jika regulasi serupa diadopsi oleh mitra dagang utama lainnya di masa depan, industri baja Indonesia yang masih bergantung pada proses tinggi emisi bisa terisolasi dari pasar premium.

Ancaman itu bisa menjadi nyata karena sekarang intensitas karbon rata-rata baja Indonesia adalah 1,6 tCO2e per ton produk. Angka emisi ini cukup tinggi dibandingkan standar internasional yang semakin ketat.

Tantangan dan peluang

Para peneliti Climate Catalyst mencatat bahwa industri baja Indonesia dapat kehilangan daya saing di masa depan apabila tidak segera melakukan transisi hijau, terlebih tanpa disertai regulasi pemerintah yang mewajibkan pelaksanaan transisi tersebut. Meski begitu, pengamat industri tanah air juga menilai tekanan ini justru bisa menjadi peluang strategis karena membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan posisi Indonesia dalam rantai pasok global.

Salah satu tantangan utama yang dihadapi sektor baja Indonesia adalah fragmentasi definisi baja rendah karbon secara global. Dalam kajian ini, para peneliti menilai regulasi di Indonesia seperti Standar Industri Hijau (SIH) dari Kementerian Perindustrian masih memerlukan penguatan agar dapat sejajar dengan standar internasional seperti ResponsibleSteel, Steel Climate Standard dari Global Steel Climate Council (GSCC), dan Low Emission Steel Standard (LESS).

Menurut Climate Catalyst, SIH dapat dikuatkan melalui sejumlah hal krusial seperti mandat verifikasi pihak ketiga, akuntansi emisi eksplisit untuk Lingkup 3 (Scope 3), dan pelacakan intensitas karbon secara detail di tingkat produk. Peningkatan ketiga aspek ini penting agar ekspor baja nasional bisa bersifat process-agnostic alias tidak bergantung pada proses produksi tertentu dan mampu bersaing secara adil di pasar global.

Dorongan teknologi dan pasar domestik

Climate Catalyst merekomendasikan produksi baja Indonesia beralih ke ke teknologi yang lebih ramah lingkungan seperti Electric Arc Furnace (EAF) yang menggunakan besi tua (skrap) atau Direct Reduction Iron (DRI). Saat ini, sebagian besar produksi baja Indonesia masih didominasi oleh teknologi Blast Furnace – Basic Oxygen Furnace (BF-BOF) yang lebih efisien biaya, tetapi sangat intensif karbon.

Namun, kajian ini juga menyoroti kebutuhan belanja modal (capital expenditure/capex) yang luar biasa besar untuk menjalankan transisi teknologi. Sebagai contoh, investasi pada fasilitas hidrogen hijau dan H-DRI (Green Hydrogen-Direct Reduction Iron). Tanpa dukungan kebijakan strategis, risiko investasi pada teknologi ini akan terlalu tinggi bagi pelaku swasta.

Karena itu, Climate Catalyst juga menyarankan pemerintah Indonesia harus bertindak sebagai penjamin pasar (market creator) agar transisi ini tidak mematikan industri. Tak hanya itu, Indonesia juga perlu memperkuat kerangka Pengadaan Barang Ramah Lingkungan atau Green Public Procurement (GPP). Menurut lembaga yang berfokus melakukan kajian di Asia dan Eropa ini, permintaan domestik yang stabil akan turut tercipta jika baja rendah karbon wajib digunakan dalam proyek-proyek strategis nasional dan infrastruktur pemerintah.

Dengan adanya kepastian pembeli domestik, perbankan juga akan lebih tertarik memberikan investasi pada fasilitas hidrogen dan EAF skala besar. Langkah ini menjadi perlindungan sebelum industri nasional sepenuhnya menghadapi tekanan kompetitif di pasar global yang ketat.

Selanjutnya: Asian Stocks Rise, Precious Metals Hit Records on Fed Rate Cut Bets

Menarik Dibaca: Samsung Galaxy Tab A11, Tablet Terbaik dengan RAM 8 GB & Penyimpanan hingga 2TB!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×