Reporter: Nurmayanti | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Industri sarung tangan karet di dalam negeri kini tengah kelabakan. Lihat saja, tujuh dari 12 perusahaan tersebut harus berjuang sendiri dalam memenuhi kebutuhan gas mereka. Padahal, gas merupakan komponen terpenting dalam proses produksi sarung tangan plastik.
Caranya, mereka mengalihkan sumber energi dari gas ke energi alternatif seperti batu bara hingga bio massa seperti cangkang kelapa. Kondisi ini sudah terjadi sejak empat tahun lalu. Alhasil, ketujuh perusahaan yang berlokasi di Sumatra Utara itu sudah tak beroperasi secara optimal.
Dampaknya kian meluas. Setidaknya, sekitar 5.000 karyawan harus dirumahkan. ”Dari 12 perusahaan, hanya tinggal lima perusahaan saja yang berproduksi secara optimal. Sedangkan ketujuh perusahaan lainnya sekarang sedang dalam proses transisi untuk mengalihkan sumber energi mereka," jelas Wakil Ketua Asosiasi Industri Sarung Tangan Karet Henry Tong, kemarin (20/5).
Kondisi ini membuat produksi sarung tangan karet nasional turun drastis. Pada situasi normal, produksi sarung tangan karet mencapai 15 miliar pieces per tahun. Namun, setelah sebagian besar industri kekurangan pasokan gas, produksi sarung tangan karet nasional hanya tinggal 10 miliar pieces. Angka ini turun 50% dari produksi semula.
Kondisi ini cukup memprihatinkan, mengingat sebagian besar sarung tangan karet lokal masuk ke pasar ekspor. Jumlahnya mencapai 95% dari total produksi. Ironisnya, industri sarung tangan karet tidak terpengaruh krisis global, karena produk ini merupakan kebutuhan primer yang tidak bisa ditinggalkan.
Henry memperkirakan, permintaan sarung tangan karet di pasar lokal maupun ekspor akan tumbuh 5% pada tahun ini. Pada 2008 lalu, permintaan sarung tangan lokal di dunia mencapai sekitar 10 miliar pieces. Beberapa negara tujuan ekspor industri ini antara lain China, Eropa, Amerika dan lainnya. Selain itu, harga sarung karet di pasar dunia dalam posisi stabil di kisaran US$ 23 per 1.000 pieces.
Kurangnya pasokan gas yang dialami oleh industri sarung tangan karet diakui oleh Kepala BP Migas R Priyono. Dia menjelaskan, saat ini, kebutuhan dan pasokan gas setiap tahun dalam posisi tak seimbang. Sehingga, ada beberapa industri yang tak kebagian gas. Meski begitu, dia menilai, kondisi ini sebenarnya menjadi peluang investasi baru. Sebab, penyelesaian dari industri sarung tangan karet dinilai dengan pendirian terminal floating. "Ini justru menjadi bisnis sendiri entah itu PGN, atau lainnya. Ini menjadi potensi bisnis siapa yang membangun terminal itu," jelas Priyono.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News