Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - SINGAPURA. Moody's Ratings (Moody's) mengafirmasi peringkat PT Bukit Makmur Mandiri Utama (BUMA) di level Ba3. Pada saat yang sama, Moody's menurunkan peringkat obligasi senior BUMA menjadi B1 dari Ba3 dan mempertahankan prospek stabil.
"Afirmasi peringkat perusahaan BUMA mencerminkan posisi perusahaan sebagai kontraktor jasa penambangan batubara terbesar kedua di Indonesia berdasarkan volume lapisan penutup," kata Maisam Hasnain, Wakil Presiden dan Analis Senior Moody's. Volume pemindahan lapisan penutup BUMA di Australia dan rekam jejak BUMA dalam mempertahankan kebijakan keuangan secara konservatif terbukti menghasilkan arus kas bebas yang positif.
"Pada saat yang sama, penurunan peringkat obligasi dollar AS menjadi B1 mencerminkan posisi permodalan terhadap utang bank yang terjamin dalam struktur permodalan BUMA," terang Hasnain, yang juga analis utama Moody's untuk BUMA dalam rilis.
Baca Juga: Delta Dunia Makmur (DOID) Siapkan Strategi Saat Hadapi Harga Batubara Melandai
Pada tanggal 18 Maret 2024, BUMA mengumumkan hasil tender offer atas obligasi sebesar US$ 153 juta dari total obligasi US$ $366 juta. Obligasi ini akan jatuh tempo pada Februari 2026. Tender offer surat utang tersebut sebagian besar didanai dengan pinjaman terjamin sebesar US$ 750 juta yang akan akan membantu perusahaan secara proaktif mengurangi batas jatuh tempo utangnya pada tahun 2026.
BUMA juga telah melunasi pinjaman sebesar US$ 287 juta pada bulan Maret 2024. Sebagian besar pinjaman tersebut didanai pinjaman terjamin dengan jangka waktu 5,75 tahun dari PT Bank Negara Indonesia Tbk dan Bank Mandiri.
Pinjaman baru ini mencerminkan akses BUMA terhadap pendanaan meskipun bisnis sektor pertambangan batubara lesu. Bahkan sektor batubara mengalami penurunan akses pendanaan dalam beberapa tahun terakhir, terutama dari bank asing dan pasar obligasi dolar AS.
Secara kinerja, BUMA pada tahun lalu berhasil meningkatkan volume pemindahan lapisan penutup sebesar 14% secara tahunan. Ini karena permintaan dari pelanggan lama di Indonesia dan Australia serta adanya kontrak baru dari penambang batubara metalurgi Australia.
Hasilnya, EBITDA BUMA dilaporkan meningkat sebesar 13% pada tahun 2023. Pada saat yang sama, BUMA juga telah mengurangi porsi dari pelanggan terbesarnya, PT Berau Coal yang pada tahun lalu mencapai 25%. Porsi dari Berau Coal menurut Moody's turun 45% dari tahun 2021.
Baca Juga: Harga Batubara Diprediksi Turun Tahun Ini, Delta Dunia Makmur (DOID) Atur Strategi
Moody's memperkirakan pendapatan BUMA akan sedikit menurun pada tahun 2024 karena terimbas penurunan volume pemindahan lapisan penutup dari pelanggan di tengah rendahnya harga batubara. Namun leverage BUMA yang diukur dengan utang/EBITDA yang disesuaikan, akan tetap sehat pada kisaran 2,7x selama 12-18 bulan ke depan. .
Namun kontrak pelanggan yang dikantongi BUMA paling banyak berakhir pada 2025. Moody's mengharapkan BUMA secara proaktif berupaya memperpanjang kontrak pelanggan yang ada atau menandatangani kontrak baru. Jika tidak maka ada potensi BUMA akan mengalami penurunan kontrak overburden yang cukup besar pada tahun 2025-2026. Sehingga pendapatan dan arus kas BUMA akan terkendala.
Moody's menyebut, likuiditas BUMA cukup baik dengan sumber kas internal yang dinilai masih memadai untuk memenuhi kebutuhannya hingga Juni 2025. Moody's juga memperkirakan BUMA akan memiliki sekitar US$ 220 juta fasilitas pinjaman bank yang belum ditarik dari BNI dan Bank Mandiri.
Fasilitas pinjaman ini masih bisa digunakan BUMA untuk belanja modal dan investasi baru hingga Desember 2025. BUMA juga bisa menggunakan fasiltas tersebut untuk membayar utang sehingga dapat membantu mengatasi utang jatuh tempo hingga Februari 2026 yang tersisa dengan nilai U$ 213 juta.
Moody's menyebut, setelah penawaran tender obligasi yang dilakukan BUMA maka beban utang akan berkurang menjadi 30% dari total utang tidak termasuk sewa. Sebelumnya pada September 2023, beban utang BUMA mencapai 53%.
Baca Juga: Delta Dunia Makmur (DOID) Alokasikan Capex Tahun Ini Hingga US$ 190 Juta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News