Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Uni Eropa (UE) resmi memberlakukan Undang-Undang (UU) Anti Deforestasi pada 16 Mei 2023 yang lalu. Setidaknya, ada tujuh komoditas yang diatur dalam UU Anti Deforestasi Uni Eropa ini, seperti sawit, kopi, daging, kayu, kakao, keledai dan karet.
Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menilai bahwa sebaiknya pemerintah Indonesia tidak perlu resisten bahkan berniat menggugat UU Anti Deforestasi Uni Eropa ini ke dalam forum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Baca Juga: UU Anti Deforestasi Eropa Disahkan, Pengamat Core: Tidak Ganggu Pendapatan Negara
Yusuf bilang, UU Anti Deforestasi ini merupakan upaya melawan perubahan iklim akibat deforestasi, terutama akibat ekspansi lahan perkebunan. Bahkan, langkah-langkah melawan deforestasi ini akibat ekspansi lahan perkebunan ini telah menjadi aksi global setidaknya sejak dua dekade terakhir.
Selain itu, kata Yusuf, saat ini posisi Indonesia sedang banyak memiliki konflik dagang terutama terkait larangan eskpor nikel dan akan berlanjut pada larangan ekspor bauksit dan tembaga.
"Sebaiknya saat ini Indonesia tidak menambah konflik dengan negara lain, terlebih di masa krisis global di mana setiap peluang pasar global adalah berharga. Uni Eropa adalah salah satu pasar terbesar ekspor crude palm oil (CPO) kita setelah China, India dan Pakistan," ujar Yusuf kepada Kontan.co.id, Minggu (2/7).
Baca Juga: Eropa Kembali Menjegal Ekspor CPO Indonesia
Oleh karena itu, dirinya menyarankan pemerintah bisa menjadikan larangan deforestasi oleh Uni Eropa sebagai peluang untuk meningkatkan kualitas produk CPO dan pengelolaan hutan Indonesia.
Menurutnya, hadirnya UU Anti Deforestasi ini berdampak positif mengingat pembukaan lahan sawit banyak mengorbankan hutan.
Oleh karena itu, menurutnya, hadirnya UU Uni Eropa ini dapat menjadi pintu masuk bagi kerjasama yang saling menguntungkan untuk melindungi hutan Indonesia.
Yusuf meyakini bahwa petani sawit swadaya kemungkinan besar tidak akan resisten dengan UU Anti Deforestasi ini.
Pasalnya, petani swadaya secara umum tidak merusak hutan dan mereka akan bersedia mengimplementasikan standar global dalam produksi CPO sepanjang produknya dijamin akan diterima di pasar Internasional, termasuk pasar Uni Eropa.
"Resistensi saya duga malah justru akan banyak berasal dari korporasi sawit yang sering merambah hutan untuk membuka lahan sawit baru, seperti yang kini marak di Papua," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News