Reporter: Dimas Andi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) turut mengomentari salah satu isi Undang-Undang Cipta Kerja yang membuat pemerintah pusat punya berbagai kewenangan strategis terkait pengembangan panas bumi di Indonesia.
Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM Harris Yahya mengatakan, adanya beberapa kewenangan strategis yang kini dipegang oleh pemerintah pusat akan memberikan kepastian berusaha dan kondisi investasi yang lebih baik di masa mendatang.
“Birokrasi untuk investasi panas bumi akan lebih sederhana,” imbuhnya dalam jumpa pers virtual Launching Indo EBTKE ConEx 2020, Jumat (9/10).
Ia mengaku, pada dasarnya sudah ada beberapa regulasi yang diciptakan untuk mengakomodasi pengembangan panas bumi secara optimal. Namun, realisasi di lapangan memang belum sesuai dengan harapan.
Baca Juga: Kementerian ESDM: Perpres harga EBT sedang tahap harmonisasi
Saat ini kapasitas pembangkit panas bumi yang terpasang baru mencapai kisaran 2.000 megawatt (MW), padahal potensi panas bumi di Indonesia mencapai 23,9 gigawatt (GW).
Indonesia punya target total kapasitas pembangkit panas bumi di tahun 2025 mencapai 7.000 MW.
Tantangan terbesar pengembangan panas bumi di Indonesia masih berkutat pada persoalan harga yang tinggi. Hal ini pun sangat berkaitan dengan risiko panas bumi yang tergolong tinggi.
Selain lewat UU Cipta Kerja, pemerintah terus mencoba mereduksi risiko pengembangan panas bumi yang kerap dihadapi oleh para pengembang atau investor.
Misalnya, dalam rancangan Peraturan Presiden (Perpres) harga energi baru terbarukan (EBT) yang sedang digodok, pemerintah bakal menyediakan sejumlah insentif bagi investor panas bumi di tanah air.
“Ada insentif berupa proses pengeboran (drilling) yang dilakukan oleh pemerintah sehingga risiko kontraktor berkurang,” ungkap Harris.
Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Baru Terbarukan (METI) Paul Butarbutar menambahkan, masalah perizinan turut menjadi tantangan pelik yang selama ini terjadi dalam upaya pengembangan panas bumi di Indonesia.
“Kita sudah pernah lihat bahwa proses pengembangan panas bumi sangat lambat saat izin ada di pemerintah daerah,” ujarnya.
Selain itu, ada juga tantangan seperti pengadaan proyek panas bumi di PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang terhambat hingga kontrak-kontrak proyek pembangkit panas bumi yang terkendala karena belum bankable.
Ia berharap kehadiran UU Cipta Kerja dan Perpres tarif EBT nantinya bisa menjadi salah satu titik terang dalam percepatan pengembangan panas bumi di Indonesia.
Selanjutnya: UU Cipta Kerja perkuat kewenangan pemerintah pusat dalam pengembangan panas bumi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News