Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli
Lebih lanjut, Singgih menekankan bahwa pada dasarnya memecahkan persoalan tata kelola DMO bukan sebatas pada masalah harga.
Lebih dari itu, diperlukan perbaikan tata niaga secara luas baik dari sisi hulu (kapasitas produksi tambang, kualitas batubara, kapasitas pelabuhan muat, dan kecepatan muat) juga sisi hilir (pelabuhan bongkar, kecepatan bongkar, kapasitas coal stockpile). Selain juga terkait dengan kontrak dan lokasi geografis berbagai lokasi tambang.
"Mengingat DMO menjadi kewajiban seluruh tambang, pada dasarnya bukan hal yang mudah untuk memaksakan DMO tanpa ada langkah lain yg harus dilakukan Pemerintah. Dari sisi kebijakan, ketegasan Pemerintah telah tepat dengan melakukan langkah melalui larangan ekspor, denda dan dana kompensasi," ungkapnya.
Baca Juga: Adaro Minerals Akan Meraup Dana IPO Rp 604,86 Miliar
Dalam konteks tata niaga, Singgih mengatakan harus dipersiapkan coal blending terminal. Hal ini dinilai perlu mengingat lebarnya skala tambang (besarnya produksi, kualitas batubara) yang dimiliki tambang.
Terlebih mengingat DMO menjadi kewajiban semua pelaku tambang skala apa pun, maka dengan terbangunya coal blending terminal akan mampu menjawab kebutuhan batubara untuk PLN, baik kualitas maupun ukuran jenis armada kapal yang sesuai dengan pelabuhan bongkar.
"Jauh ke depan dengan memperlebar kualitas batubara yang dapat diserap DMO, akan mengamankan pendapatan negara, Pendapatan Asli Daerah, serapan tenaga kerja, di saat harga batubara menurun pada waktu tertentu dan kualitas rendah menjadi tidak ekonomis," pungkas Singgih.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News