kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Aprindo tagih juklak aturan DNI bisnis ritel


Selasa, 27 September 2016 / 22:55 WIB
Aprindo tagih juklak aturan DNI bisnis ritel


Reporter: Handoyo | Editor: Adi Wikanto

Jakarta. Kalangan pengusaha sektor retail tagih petunjuk pelaksana (juklak) terkait dengan kebijakan revisi Daftar Negatif Investasi (DNI). Mereka berharap agar kebijakan itu tidak ada kompromi dan tidak ada pembedaan.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta mengatakan, saat ini juklak terhadap Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 ini masih dalam penggodokan di Kementerian Perdagangan (Kemdag). "Yang kami sayangkan sejak DNI dibahas sampai dikeluarkan, kami tidak pernah diajak bicara," kata Tutum, Selasa (27/9).

Di dalam perpres tersebut, usaha department store dengan luas 400-2.000 meter persegi kini bisa dinikmati asing maksimal 67%. Namun, itu perlu disertai beberapa syarat, seperti bertempat di pusat perbelanjaan dan penambahan tokonya didasarkan pada kemampuan ekspor. Sebelumnya, usaha department store bagi asing dibatasi minimal seluas 2.000 meter persegi saja.

Tutum bilang, dengan kebijakan yang baru itu investasi asing di sektor retail ini dapat menjangkau ke tingkat daerah-daerah. Padahal, di wilayah tersebut banyak usaha sejenis yang dikembangkan oleh warga masyarakat.

Meski enggan merinci, salah satu juklak yang sedang dibahas sebagai turunan dari perpres terkait dengan DNI tersebut ialah persyaratan untuk dapat melakukan ekspor dengan besaran tertentu. "Jangan ada pengecualian," kata Tutum.

Tutum sangat berharap terhadap juklak yang tengah dibahas ini. Aprindo khawatir, bila pemerintah tidak tegas dalam penerapan persyaratan tersebut maka pengusaha lokal terancam gulung tikar.

Time line yang diberikan terhadap persyaratan-persyaratan bagi investor asing yang akan masuk ke bisnis retail ini harus jelas. Jangan sampai ada toleransi-toleransi yang membuat investasi sektor properti yang sedang dalam masa transisi dapat terbebas dari persyaratan yang dibebankan.

Sebelumnya, Ketua Umum Aprindo Roy Mandey mengatakan, terdapat aturan lain yang menghambat dunia usaha sektor retail. Diantaranya revisi Perpres No 112 tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern sampai saat ini masih belum terlihat konkritnya.

Menurut Roy, dalam beleid saat ini pengusaha toko modern terbatas ekspansinya. Mereka terbentur kebijakan tata ruang di daerah yakni rencana detail tata ruang (RTDR) yang saat ini masih belum seluruhnya ada.

Kalau tidak direvisi, pengusaha toko modern tidak akan bisa mengembangkan toko modernnya ke daerah yang tidak memiliki RTDR. "Kalaupun bisa biayanya akan lebih tinggi karena harus berkoordinasi dengan gubernur dan bupati atau walikota," kata Roy.

Setidaknya, dari 514 kota yang ada di Indonesia, hanya sembilan yang memiliki RDTR. Sementara untuk RTRW sudah mencapai 90%. Oleh karena itu, percepatan revisi atas aturan tersebut diharapkan dapat segera terselesaikan agar proses ekspansi tidak terganggu.

Persoalan lain yang mengganjal bagi dunia usaha sektor retail ini adalah perlunya revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 tahun 2016 tentang Ketentuan Umum Distribusi Barang.

Roy melihat, isi dalam beleid itu yang melarang produsen atau importir langsung menjual produknya ke pengecer menimbulkan penambahan rantai distribusi. "Seharusnya tidak perlu dilarang, karena saat ini sudah bagus berjalan," kata Roy.

Aprindo telah melaporkan kepada Kelompok Kerja (Pokja) III Satgas Percepatan Pelaksanaan Paket Kebijakan Ekonomi (PKE).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×