kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Cuaca baik berpotensi mendorong produktivitas rempah


Senin, 23 Juli 2018 / 20:41 WIB
Cuaca baik berpotensi mendorong produktivitas rempah
ILUSTRASI. Petani memetik biji lada


Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Produktivitas dan harga komoditas rempah Indonesia berfluktuasi sesuai cuaca dan kinerja petani. Cuaca yang baik tahun ini memberi potensi panen akan lebih baik dan memberi kesempatan perbaikan harga rempah pala, lada dan cengkih yang sempat merosot.

Agus Wahyudi, Direktur Tanaman Semusim dan Rempah, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian menjelaskan harga tiga komoditas rempah Indonesia yakni pala, lada dan cengkih terus berfluktuasi.

"Harganya sangat mengikuti produksi yang tergantung pada kondisi iklim cuaca," jelas Agus saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (23/7).

Menurutnya, kini harga pala relatif stabil di kisaran Rp 70.000 - Rp 90.000 per kilogram harga lada relatif turun walau masih di atas Rp 100.000 per kg. Sedangkan harga cengkih berada di kisaran Rp 100.000 per kg.

Ia optimistis dengan cuaca yang lebih baik, maka produksi akan lebih banyak dan perusahaan bisa menyerap lebih banyak produk dan beri keuntungan lebih pada petani.

Mengutip pemberitaan Kontan, kuartal pertama 2018 lalu, harga pala sempat jatuh hingga Rp 37.000 per kg untuk pala grade A yang masih memiliki kulit, padahal pada periode dua tahun lalu, harganya sempat mencapai Rp 110.000 per kg.

Kemudian harga lada pada akhir 2017 di petani sebesar Rp 50.000 per kilogram (kg), padahal tahun 2015 sempat mencapai Rp 150.000 per kg. Sedangkan harga cengkih dalam keadaan normal berkisar di Rp 120.000 - Rp 130.000 per kg.

Sayangnya, walau rempah lada dan pala merupakan komoditas ekspor, tapi kenaikan harga dollar tidak serta-merta berdampak langsung pada harga dan kesejahteraan petani.

Pasalnya, sifat perdagangan komoditas rempah umumnya dikendalikan oleh pedagang besar dan eksportir, sedangkan petani relatif pasif dalam penentuan harga. Sehingga hanya pedagang besar yang bisa merasakan efek langsung saat dollar naik dan bisa segera menyesuaikan harga ekspor.

"Barang ada di eksportir, pedagang, dan petani hanya menyimpan sebagian kecil biasanya untuk tabungan mereka, maka saat penjualan atau dollar sedang tinggi, yang menikmati duluan adalah pedagang yang langsung menyesuaikan harga," kata Agus.

Mengutip informasi Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2016 nilai ekspor tanaman obat, aromatik dan rempah-rempah mengalami penurunan year on year sebesar 1,86% jadi US$ 506,8 juta setara 316.200. Namun pada tahun 2017 mengalami peningkatan sebesar 23,66% menjadi US$ 626,7 juta atau setara 325.800 ton.

Kemudian jika dilihat dari negara tujuan ekspor tanaman obat, aromatik dan rempah-rempah, tercatat bahwa di tahun 2017 ekspor terbesar masih ditujukan ke Pakistan dengan nilai US$120,4 juta, selanjutnya Thailand sebesar US$101,1 juta dan India sebesar US$84,4 juta.

Selain ketiga negara tersebut, negara-negara seperti Amerika Serikat, Vietnam, dan Myanmar juga merupakan negara tujuan ekspor yang cukup besar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×