Reporter: Noverius Laoli | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Para petani sawit mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merevisi kembali Peraturan Menteri KLHK No.16 tahun 2017 tentang pedoman teknis pemulihan fungsi ekosistem gambut. Pasalnya, beleid ini dinilai berpotensi mengganggu kemandirian ekonomi nasional akibat berkurangnya luasan perkebunan sawit rakyat.
Para petani juga menilai belum ada data valid terkait luasan lahan gambut dan peta gambut menjadi perimbangan lain kenapa pemerintah harus merevisi permen tersebut. Saat ini data luas gambut masih simpang siur, ada yang menyebutkan 24 juta hektare (ha) tapi ada juga yang menyebutkan 14 juta ha.
Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Aryad mengatakan, penerapan Permen ini mempunyai multiplier effect karena dapat merusak tatanan kemandirian ekonomi nasional. Sebab pemberlakuan beleid ini akan berpotensi menggerus pendapatan asli daerah, khususnya dari perkebunan. Dan ini bisa menambah jumlah pengangguran dan konflik sosial. "Kami menilai aturan ini tidak berpihak pada kepentingan rakyat," ujar Asmar, Senin (7/8).
Asmarn juga menyorot peraturan menteri pertanian No.14 tahun 2009 tentang pedoman pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit dengan kedalaman di bawah tiga meter. Tapi KLHK menerbitkan aturan yang tentang pengelolaan lahan gambut yang justru membingungkan petani sawit di lapangan.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Sawitku Masa Depanku (Samade) Sumatera Utara, Tolen Ketaren menambahkan, penerapan permen tersebut akan berdampak langsung pada penurunan pendapatan dan penghasilan masyarakat di daerah. Hal ini tidak sejalan dengan cita-cita pemerintah yang ingin menyejahterakan petani.
Tolen mendesak agar pemerintah membimbing masyarakat menanam beragam komoditas termasuk sawit. Kemudian menerapkan pemanfaatan gambut ramah lingkungan untuk perbaikan ekonomi rakyat. “Jangan justru sebaliknya, memojokkan rakyat dengan berbagai aturan yang membebani dan menyikat habis kehidupan masyarakat pedesaan," ujar Tolen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News