kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

AEPI: Sektor tembakau jadi sapi perah


Rabu, 08 Oktober 2014 / 16:46 WIB
AEPI: Sektor tembakau jadi sapi perah
ILUSTRASI. Tanaman dan Sinar Matahari


Sumber: TribunNews.com | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Rencana pemerintah menaikkan cukai tembakau sebesar 10% pada 2015 ini menjadikan sektor tembakau sebagai sapi perah dalam mencukupi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terus memburuk akibat bunga utang dan cicilan luar negeri yang besar.

"Padahal tarif cukai tembakau telah meningkat lebih dari 100% dalam 6 tahun dari Rp 49,9 triliun dalam APBN 2008 menjadi Rp 100,7 triliun dalam APBNP 2014. Nah, pada 2015, Pemerintah menargetkan penerimaan cukai hasil tembakau sebesar Rp 120,5 triliun," tegas peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng dalam keterangan pers, Selasa (7/10).

Menurut Daeng, sejak awal kebijakan ini telah menuai protes dari kalangan multi stakeholders tembakau. Namun rencana kenaikan tarif cukai telah ditetapkan dalam APBN 2015.

Sebagaimana tertuang dalam Nota Keuangan 2015, dimana kebijakan di bidang kepabeanan dan cukai antara lain dimaksudkan untuk (1) mengantisipasi pemberian konsesi tarif bea masuk nol persen terhadap impor bahan baku terkait kebijakan FTA; (2) ekstensifikasi barang kena cukai; dan (3) penyesuaian tarif cukai rokok.

"Dengan demikian, kebijakan APBN tersebut tersebut hendak menggantikan hilangnya pendapatan dari bea masuk impor tembakau dan produk tembakau dengan penerimaan cukai tembakau dan produk tembakau dalam negeri. Hal ini merupakan indikasi bahwa pemerintah memang pro terhadap impor tembakau dan rokok namun anti terhadap pertanian dan industri kretek nasional," terangnya.

Pada saat yang sama, ungkap Daeng, sektor tembakau terus mendapat tekanan kebijakan yang mengacu pada rezim internasional Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang telah diadopsi ke dalam peraturan perundangan nasional seperti pembatasan penanaman tembakau melalui alih fungsi lahan, pembatasan kadar tar dan nicotin dan larangan merokok di tempat umum.

Berbeda dengan cukai dari sumber lain seperti cukai minuman beralkohol yang tidak terkena dengan berbagai macam kebijakan pembatasan sebagaimana yang dihadapi tembakau. Padahal minuman beralkohol sebagian besar merupakan produk yang diimpor.

Daeng menuturkan, dibandingkan dengan cukai lainnya, penerimaan cukai tembakau merupakan penerimaan paling besar dalam APBN dibandingkan dengan sektor ekonomi manapun. Penerimaan cukai tembakau merupakan 96,2% dari penerimaan cukai, sisanya Rp 3,8 triliun atau sebanyak 3,6% adalah Pendapatan Cukai Minuman Mengandung Ethil Alkohol (MMEA). Berbeda dengan cukai tembakau yang proporsinya cenderung meningkat, proporsi cukai alkohol terus menurun.

Kebijakan menaikkan tarif cukai tembakau menurut Daeng, memiliki korelasi dengan semakin menurunnya industri kecil dan menengah dalam industri tembakau. Kebijakan menaikkan tarif cukai tembakau semakin meningkatkan dominasi perusahaan besar khususnya perusahaan asing dalam sektor tembakau. 

Kebijakan meningkatkan tarif cukai tembakau akan langsung menyebabkan perusahaan tembakau skala kecil gulung tikar. Ditambah lagi dengan kewajiban tanda gambar bagi setiap kemasan rokok telah menimbulkan beban biaya yang tidak kecil, semakin menambah mahal ongkos produksi rokok skala kecil dibandingkan dengan keuntungan yang dapat mereka terima.

Oleh karenanya, AEPI berharap pemerintah tidak bersikap egois dengan hanya memikirkan kantong APBN-nya sendiri. Pemerintah harus memikirkan masa depan industri hasil tembakau yang semakin tertekan, baik karena perdagangan bebas, kebijakan pembatasan dan terakhir oleh kebijakan cukai tinggi. Cara rezim pemerintahan sekarang mengatur fiskal baru sebatas ilmu ibu rumah tangga, akibatnya hanya industri nasional dalam satu dasawarsa terakhir mengalami kemunduran luar biasa.

"APBN jangan seperti manajemen ibu rumah tangga hanya melihat dari sisi uang masuk dan uang keluar, namun harus memiliki orientasi pembangunan industri," cetusnya.

Dengan demikian maka industri nasional ke depan semakin memiliki kesiapan dalam menghadapi perdagangan bebas ASEAN (AFTA) yang akan mulai berlaku pada Desember 2015.

"Tanpa persiapan yang matang dan keberpihakan sistem fiskal nasional, seluruh industri nasional akan gulung tikar dihajar impor," tuturnya. (Sanusi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×