Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penggunaan pembangkit dari energi bersih atau energi baru dan terbarukan (EBT) untuk pabrik pemurnian alias smelter tidak hanya dipasok dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) saja.
Ada opsi menggunakan energi bersih dari pembangkit lain. Adapun, pemerintah meminta agar smelter-smelter bisa meninggalkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbasis bahan bakar fosil.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi mengatakan, pembangkit dari EBT lain akan terhubung dalam sistem ketenagalistrikan.
"Ya ditargetkan ke sana [PLTS], kemudian kalau tidak cukup kan, kembali kuncinya kesinambungan dan ada upaya. Makanya tidak mungkin PLTS itu sendirian, smelternya butuh apinya harus nyala terus. PLTSnya ada siang, malam mati, [kalua siang] saja tidak mungkin. Makanya dimasukan alam system ketenagalistrikan," kata Agus di Kementerian ESDM, Jumat (27/9).
Baca Juga: Pemerintah Targetkan Penambahan Kapasitas Terpasang PLTB 5 GW pada 2030
Agus menuturkan, saat ini pemerintah tengah menyusun rencana umum ketenagalistrikan nasional (RUKN) dan rencana pengadaan tenaga listrik (RUPTL) memang tengah disusun untuk memetakan dan mengembangkan jaringan yang bisa digunakan untuk memasok smelter tersebut.
Selain dua rencana tersebut, Indonesia akan menerapkan teknologi carbon capture storage (CCS) untuk menangkap karbon.
"Kalau ada sistem semua akan dikembangkan. Harus ingat kita punya tabungan, punya CCS. Kalau semua opsi mentok, carbon yang terbeli di situ disimpan di dalam CCS. Secara teknologi, internasional mengakui itu juga," kata Agus.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan komitmen pemerintah Indonesia untuk membangun industri yang berorientasi pada energi baru dan terbarukan (EBT).
Hal ini tengah dilakukan pemerintah dengan meminta agar pabrik pengolahan mineral (smelter) nikel di Weda Bay beralih dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbasis batubara ke pembangkit EBT.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah menyusun peraturan agar industri-industri di dalam negeri secara perlahan menggunakan pembangkit listrik dari EBT.
"Secara perlahan dan bertahap, kita sudah melakukan. Kita akan mengganti smelter-smelter industri yang sekarang memakai batubara beralih ke energi baru dan terbarukan," kata Bahlil dalam Green Initiative Conference di Jakarta, Rabu (25/9).
Bahlil mencotohkan smelter nikel di Weda Bay, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara untuk beralih ke pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) mulai 2025.
"Kita sudah diskusi dengan mereka pada 2025 mulai untuk konversi memakai solar panel di eks penambangan dan puncaknya nanti di 2030 minimal 60%-70% mereka sudah bisa melakukan konversi memakai EBT," ujar Bahlil.
Selain itu, Bahlil menuturkan pemerintah juga mulai memperketat perizinan pembangunan smelter yang memproduksi nickel pig iron (NPI) agar menggunakan energi baru terbarukan.
"Kita mulai selektif, syaratnya sekarang salah satu dari antaranya adalah sudah harus memakai energi baru terbarukan, minimal gas," ujar Bahlil.
Baca Juga: Minimal 60% Pembangkit Listrik Akan dari EBT di RUPTL 2025-2035
Bahlil memaklumi konsekuensi dari kebijakan tersebut berdampak pada biaya investasi atau capital expenditure (capex) pembangunan smelter menjadi lebih mahal. Namun, hal ini bisa dikompensasi dengan biaya produk yang juga lebih mahal.
"Mahalnya capex untuk melakukan investasi terhadap power plant yang berorientasi pada energi baru terbarukan, itu ditutupi dengan harga produk yang memang harganya lebih mahal ketimbang produk yang dihasilkan dari energi batu bara atau fosil. Jadi kalau dihitung secara ekonomi, itu no issue," tandas Bahlil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News