Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Produksi batubara nasional sudah mulai membara. Buktinya, dalam empat bulan awal tahun ini, secara nasional produksi komoditas emas hitam ini sudah nyaris menyentuh seperempat target yang tertuang dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahun 2019.
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, per hari ini, 29 April 2019, produksi batubara nasional sudah mencapai 118 juta ton. Angka itu setara dengan 24,12% dari target volume produksi nasional tahun ini yang sebesar 489,12 juta ton.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan, angka tersebut belum mencakup seluruh perusahaan batubara. Kendati demikian, Bambang mengatakan realisasi produksi itu sudah mencakup lebih dari 80% seluruh perusahaan batubara, baik izin pusat maupun daerah.
"Sudah semua (izin pusat), minus beberapa perusahaan daerah yang belum. Tapi secara presentase sudah lebih dari 80%," kata Bambang selepas menghadiri acara yang digelar di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Senin (29/4).
Bambang bilang, kuota produksi batubara akan kembali dievaluasi pada Juni nanti. Sehingga, Bambang pun mengatakan bahwa pihaknya membuka kesempatan bagi perusahaan yang akan melakukan revisi target produksi RKAB tahun ini.
Begitu juga dengan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) daerah yang kuota produksinya dipotong pada tahun ini. Sebelumnya, Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor sampai mengirimkan surat dan bertemu dengan Presiden Joko Widodo supaya sanksi tersebut bisa dicabut.
Seperti diketahui, Kaltim adalah satu dari 10 provinsi penghasil batubara terbesar yang IUP daerah-nya terkenang pemangkasan kuota produksi sebagai sanksi karena pada tahun lalu tak memenuhi kewajiban pasokan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO).
Bambang mengungkapkan, tak hanya Kaltim saja yang keberatan dan meminta supaya sanksi tersebut dicabut, melainkan datang juga dari daerah-daerah lainnya. "Penghasil batubara itu umumnya minta supaya sanksi itu dipertimbangan lagi," tutur Bambang.
Namun, Bambang menegaskan, meski ada sejumlah gubernur yang mengajukan keberatan dan mempertimbangkan kembali pemotongan kuota produksi tersebut, pihaknya tetap menunggu pengajuan revisi pada Juni nanti. "Revisi kan dialokasikan Juni, ya kita tunggu mereka mau revisi atau nggak, kita kan nggak tahu," ujar Bambang.
Kendati demikian, Bambang menekankan, tak semua pengajuan produksi tambahan akan disetujui. Sebab, pihaknya akan menilai sejumlah pertimbangan. Seperti rasio pemenuhan kewajiban DMO pada Semester I, kapasitas dan kinerja produksi, serta sesuai persetujuan studi kelayakan dan ijin lingkungan perusahaan. "Ya nanti dievaluasi kembali, memenuhi atau nggak," ungkapnya.
Sehingga, Bambang mengatakan besaran volume produksi batubara sepanjang tahun ini baru akan terlihat setelah revisi RKAB pada Juni nanti. "Tambah atau nggak (kuota produksi), setelah Juni, baru deh kelihatan," sambungnya.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menilai, masih terlalu dini untuk melihat capaian realiasasi produksi batubara. Menurut Hendra, jumlah produksi hingga akhir April ini menandakan produksi batubara nasional berjalan normal.
Hendra mengingatkan, produksi batubara bisa terus meningkat karena produsen biasanya akan semakin menggenjot produksi setelah memasuki Kuartal II. "Biasanya begitu, di Kaurtal berikutnya akan semakin tinggi lagi," ungkapnya.
Dalam hal revisi target produksi pada Juni nanti, Hendra meminta supaya pemerintah tetap bisa mengontrol produksi. Hal ini penting, supaya pasar tidak semakin oversuplly dan bisa berdampak positif ke pembentukan harga yang sejak September tahun lalu terus mengalami penurunan.
"Sejauh mana dampaknya? Mungkin masih terlalu dini untuk melihat. Tapi dengan mengontrol produksi di bawah realisasi tahun lalu, diharapkan harga tidak semakin terpuruk," ungkapnya.
Menurut Ketua Indonesia Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo, produksi batubara tahun ini kemungkinan akan turun dari realisasi produksi batubara tahun lalu yang mencapai 557 juta ton. Hal itu dengan mempertimbangkan kondisi pasar global dan permintaan dari dalam negeri yang belum memperlihatkan kenaikan yang tajam.
Kendati demikian, Singgih memprediksi penurunan tersebut tidak akan terjadi secaar signifikan. "Itu bisa menjadi alasan produksi nasional akan turun dibandingkan 2018, tapi tidak akan signifikan" tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News