Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
Hal senada juga disampaikan oleh Pendiri Reforminer Institute sekaligus Pengamat Migas Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto. Menurut Pri, adanya 25 calon investor yang mengakses data migas belum menjadi tolok ukur bahwa iklim investasi migas di Indonesia sudah menarik.
"Masih perlu dilihat lebih jauh lagi dan perlu dibarengi dengan upaya lain dalam kemudahan izin, kepastian fiskal, konsistensi regulasi dan birokrasi, yang menjadi isu utama dalam investasi hulu migas itu lebih menentukan," katanya saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (27/10).
Baca Juga: Penanggulangan tumpahan minyak usai, PHE lestarikan pantai Kepulauan Seribu
Pri berpendapat, biaya untuk mendapatkan akses data bukan menjadi penghambat utama dalam menarik investasi di sektor hulu migas. "Jadi saya kira tidak terlalu signifikan secara besaran dalam kerangka investasi hulu migas keseluruhan," sambungnya.
Lebih lanjut, Pri menyebut bahwa akses gratis atau pun pengurangan biaya untuk mengakses data migas bukan menjadi faktor utama untuk menarik investor. Yang terpenting, sambung Pri, adalah sejauh mana kualitas informasi tersebut secara teknis dan bisnis dapat menunjang program yang akan dirancang perusahaan.
Pri menekankan, prinsip bisnis di hulu migas bertumpu pada risiko dan ganjaran (risk vs reward). Apabila risk tetap dan reward secara relatif aik dan lebih besar dibanding risk, maka investasi akan bertumbuh. Begitu sebaliknya.
Baca Juga: Pertamina hadirkan panel surya dan kincir angin di Kampung Laut Cilacap
Dalam hal ini, Pri menilai, bahwa pembukaan akses data tersebut tidak berpengaruh signifikan dalam prinsip risk vs reward tersebut. "Sehingga pengaruh langsungnya ke investasi atau ke dalam ease of doing business juga kemungkinan tidak dapat dikatakan cukup signifikan," ungkap Pri.
Capaian Kuartal III
Terlepas dari beleid tentang akses data yang terbit pada Agustus lalu itu, SKK Migas mencatat bahwa hingga Kuartal III, penerimaan negara di sektor hulu migas baru mencapai US$ 10,99 miliar, atau menurun 6,86% dari periode yang sama pada tahun lalu yang mencapai US$ 11,8 miliar.
Secara target tahunan, angka US$ 10,99 miliar itu setara dengan 62,2% dari target tahun 2019 yang ditetapkan US$ 17,5 miliar. Terkait dengan penerimaan negara ini, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menjelaskan bahwa hal itu juga dipengaruhi oleh Indonasia Crude Oil (ICP) yang hanya berada di angka US$ 60-an per barel, di bawah target asumsi makro APBN US$ 70 per barel.
Baca Juga: Desa Kemiren Asri binaan Pertamina berhasil ekspor jamur krispi ke Hongkong
Kendati begitu, realisasi investasi di sektor migas hingga September 2019 tercatat US$ 8,4 miliar atau meningkat 11% dibandingkan realisasi investasi di periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 7,6 miliar. Namun secara target tahunan, realisasi investasi per kuartal III itu baru mencapai 57,15% dari target investasi hulu migas tahun 2019 di angka US$ 14,7 miliar.
Meski target investasi untuk tahun ini masih sulit tercapai, namun Deputi Perencanaan SKK Migas Jaffee Suardin Arizon memproyeksikan bahwa investasi migas nasional akan terus meningkat. Sebab, hingga tahun 2027 direncanakan akan ada 42 proyek migas yang dapat bergulir dengan total investasi US$ 43,3 miliar, serta total produksi 1,1 juta boepd yang mencakup produksi minyak sebesar 92,1 ribu bopd dan gas sebesar 6,1 miliar kaki kubik per hari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News