kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

APBI dan IMA apresiasi insentif royalti untuk hilirisasi batubara di UU Cipta Kerja


Selasa, 06 Oktober 2020 / 18:02 WIB
APBI dan IMA apresiasi insentif royalti untuk hilirisasi batubara di UU Cipta Kerja
ILUSTRASI. APBI dan IMA menyambut positif adanya insentif royalti 0% untuk hilirisasi batubara di UU Cipta Kerja.


Reporter: Dimas Andi | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Adanya insentif pengenaan royalti 0% untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batubara di dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja mendapat tanggapan dari sejumlah perwakilan pelaku industri pertambangan nasional.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengapresiasi atas pemberian royalti 0% bagi pelaku usaha yang menjalankan bisnis hilirisasi batubara. Pasalnya, sudah menjadi fakta untuk membangun infrastruktur dan teknologi di sektor hilir batubara dibutuhkan investasi yang besar.

Insentif tersebut tentu akan membuat investasi peningkatan nilai tambah batubara menjadi lebih ekonomis dan layak secara bisnis. “Kata kuncinya di nilai ekonomis. Insentif yang diberikan harus bisa berdampak ke situ,” imbuh dia ketika dihubungi Kontan.co.id, Selasa (6/10).

Dia juga menilai, insentif royalti 0% hanyalah salah satu insentif yang bisa berpengaruh pada percepatan hilirisasi batubara. Masih ada beberapa insentif yang dapat diberikan kepada pelaku usaha, baik secara fiskal seperti pengurangan PPN atau pemberlakuan tax holiday maupun secara nonfiskal seperti kepastian perizinan lahan atau kebijakan harga produk hilir batubara.

Baca Juga: UU Omnibus Law Cipta Kerja diprediksi mendorong kebangkitan ekonomi Indonesia

Insentif-insentif seperti itu memang perlu disiapkan secara menarik lantaran investasi di sektor hilir batubara bersifat jangka panjang atau lebih dari 20 tahun. Dengan begitu, pelaku usaha butuh kemudahan dan payung hukum yang pasti dalam melakukan kegiatan bisnis.

“Kalau insentif-insentif yang diberikan menarik dan konsisten penerapannya, tanpa dipaksa pun investor akan masuk. Sejauh ini kan belum banyak yang mau garap hilirisasi batubara,” terang Hendra.

Setali tiga uang, Pelaksana Harian Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno menilai, pembebasan royalti menjadi 0% di dalam UU Cipta Kerja sangat bermanfaat bagi anggota IMA yang menjalankan bisnis hilirisasi batubara, termasuk pemegang Perjanjian Kontrak Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang selama ini dikenakan beban royalti 13,5%.

“Kalau nilai royalti ini disisihkan untuk investasi hilirisasi tentunya akan memperbesar nilai tambah dan berdampak besar bagi investasi di sektor tersebut,” ujar dia.

Dengan adanya insentif untuk kegiatan hilirisasi batubara, maka akan terbuka kesempatan bagi Indonesia untuk dapat memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri yang selama ini kerap diimpor sehingga berdampak pada penghematan devisa negara.

Misalnya, gasifikasi batubara yang menghasilkan produk Demethyl Ether (DME) yang berguna sebagai subtitusi LPG, sehingga impor LPG Indonesia bisa ditekan di masa mendatang.

Djoko berpendapat, tantangan terbesar hilirisasi batubara ada pada kesiapan infrastruktur untuk penjualan atau pemakaian hasil produk hilir komoditas tersebut. Dalam kasus DME, produk tersebut harus langsung dipakai karena penyimpanannya sangat berisiko.

“Industri pemakai produk hasil hilirisasi tersebut harus dibangun bersamaan dengan hilirisasi batubaranya itu sendiri, di mana ini adalah ranah industri dasar,” ungkapnya.

Dengan demikian, sebenarnya pemerintah juga perlu menyiapkan insentif fiskal yang dapat mempercepat pengadaan modal pembangunan industri dasar. Alhasil, sinergi antara industri pertambangan maupun industri dasar yang jadi konsumen produk hilir tambang tersebut bisa diwujudkan.

Adapun pengamat hukum pertambangan dari Universitas Tarumanegara Ahmad Redi menyampaikan, pembebasan royalti bagi pelaku usaha yang menjalankan hilirisasi batubara akan mendatangkan risiko penurunan pendapatan bagi negara dari sektor tambang.

Namun, risiko tersebut hanya bersifat jangka pendek saja. Jika insentif ini bisa diterapkan secara konsisten dan industri hilir batubara terus tumbuh signifikan, maka manfaat yang dirasakan negara akan sangat besar secara jangka panjang.

“Biaya impor LPG yang selama ini membebani APBN bisa diturunkan kalau industri gasifikasi batubara sudah berkembang di Indonesia,” tandasnya.

Selanjutnya: Insentif royalti hilirisasi batubara di UU Cipta kerja dinilai positif

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×