kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,02   -8,28   -0.91%
  • EMAS1.318.000 0,61%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Apemindo siap gugat PP & Permen ESDM


Jumat, 10 Januari 2014 / 16:34 WIB
Apemindo siap gugat PP & Permen ESDM
ILUSTRASI. Jadwal SIM Keliling Bandung 20 Agustus 2022, Perpanjang SIM Sejam Beres


Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Azis Husaini

JAKARTA. Dua calon peraturan untuk melonggarkan kegiatan ekspor mineral setelah 12 Januari memang belum diterbitkan pemerintah. Meski demikian, berbagai kalangan sudah mengambil ancang-ancang untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) terhadap aturan tersebut.

Budi Santoso, Ketua Working Group Kebijakan Pertambangan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mengatakan, pelonggaran ekspor konsentrat tembaga menyalahi Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) karena manfaat nilai tambah tidak diperoleh di dalam negeri. "Semakin banyak jalur pemrosesan mineral di dalam negeri, manfaatnya akan jauh lebih besar yang diterima masyarakat," kata dia, dalam konferensi pers, Kamis (9/1).

Sebagai gambaran, dari bijih tembaga dapat diproses lebih panjang, mulai produk logam dan selanjutnya diproses menjadi kabel. Bahkan, mineral ikutan yang terkandung di dalam tembaga dapat dilanjutkan prosesnya hingga  menghasilkan produk logam emas dan perak, bahan baku semen, serta industri pupuk.

Menurut Budi, sejak UU Minerba terbit 2009 lalu, sebenarnya pemerintah telah lalai dalam menyiapkan kebijakan industri yang terkait produk mineral, mulai hulu ke hilir. Akibatnya, ketika mendekati batas waktu pelaksanaan kewajiban pengolahan dan pemurnian, pemerintah gagap dan tidak punya sikap untuk melaksanakan amanah konstitusi tersebut.

Budi menyatakan, pemerintah mestinya tegas dengan memaksa PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara, selaku pemegang konsesi kontrak karya (KK) komoditas tembaga untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di Indonesia sejak UU Minerba terbit. "Nilai tambah produk tambang ini taruhannya kedaulatan negara. Karena itu, harus ada sikap dari negara yang berdaulat," kata dia.

Sementara itu, Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) mengatakan, pihaknya sangat siap untuk menggugat dua calon aturan tersebut jika pemerintah benar-benar masih mengizinkan mineral mentah (ore) ataupun mineral tanpa pemurnian (konsentrat). "Ya, kami akan ke MA. Kami akan tunggu bagaimana isi peraturannya," kata dia.

Dua aturan yang yang bakal segera dirilis pemerintah yaitu revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/2010 tentang kegiatan usaha pertambangan, perubahan Permen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 20/2013 terkait batasan kadar minimum. Sekarang ini, Kementerian ESDM juga telah merampungkan bahasan penurunan kadar minimum sejumlah komoditas mineral.

Hasilnya, komoditas mineral logam yang masih diperkenankan ekspor konsentrat hingga 2017 yaitu tembaga, bijih besi, pasir besi, seng, dan timbal. Sedangkan nikel, bauksit, dan mangan tidak dizinkan ekspor. "Pemerintah harus menjalankan UU Minerba dengan konsisten, tanpa kompromi," ujar Marwan.

Pemerintah pro asing

Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo), gabungan pengusaha konsesi izin usaha pertambangan (IUP) pun sangat geram dengan adanya penurunan kadar olahan tembaga jadi 15%. "Mana keadilan pemerintah terhadap pengusaha tambang. Kami akan uji materi revisi Permen dan PP ke MA," kata Ladjiman Damanik, Direktur Eksekutif Apemindo.

Ladjiman mengatakan, sudah tidak pantas bagi kontrak karya (KK) komoditas tembaga yang telah puluhan tahun memproduksi mineral mentah diberikan kesempatan untuk menyiapkan smelter dan dibolehkan ekspor. Seharusnya, lanjut dia, kebijakan penurunan kadar minimum juga diberikan bagi komoditas bauksit dan nikel. "Jangan cuma tembaga saja," kata dia.     

Sementara itu, pelonggaran ekspor mineral mentah membuat  DPR angkat bicara. Mereka mempertanyakan soal revisi peraturan pemerintah dan Permen ESDM yang kini tengah dilakukan demi meloloskan Freeport dan Newmont untuk tetap bisa ekspor.

Anggota Komisi VII DPR RI Dewi Aryani mengatakan, jika pemerintah hendak melarang ekspor mineral mentah, jangan hanya kepada penambang kecil, tetapi Freeport dan Newmont juga harus diperlakukan sama. "Jangan karena perusahaan besar lalu tidak bisa diatur, sedangkan perusahaan yang kecil-kecil milik bangsa sendiri diobrak-abrik sampai harus mem-PHK ribuan karyawan," ungkap Politisi PDIP itu.

Sementara itu, Partai Golkar juga mendesak pemerintah untuk menutup semua celah kecurangan yang mungkin terjadi dalam menjalankan UU Minerba terkait larangan ekspor mineral mentah. "Pemerintah harus konsisten dan berani menghentikan semua praktik-praktik kecurangan yang mencari celah-celah hukum dari UU Minerba itu, bahkan saya mendengar ada revisi kadar olahan supaya tetap bisa ekspor," kata Anggota Komisi VII dari Fraksi Golkar, Dito Ganinduto.

Senada dengan Dito, anggota Komisi VII dari Fraksi Golkar Bobby Adhityo Rizaldi menyatakan, bila pemerintah sebelum 12 Januari 2014 merevisi PP 23/2010, diharapkan isinya sejalan dengan semangat UU nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. "Bukannya malah melegitimasi penundaan pembangunan smelter atau proses menambah nilai dengan alasan apapun. Saya sangat berharap, Dirjen Minerba Kementerian ESDM yang baru ini tidak masuk angin dengan melakukan revisi definisi teknis pengolahan dan pemurnian dalam Permen tersebut,” papar dia.                       

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×