Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha yang bergerak di industri alas kaki memetakan peluang dan tantangan untuk tahun 2026. Berkaca dari kinerja tahun ini, industri alas kaki bergerak cukup dinamis dengan mencatatkan kenaikan dari sisi investasi, ekspor maupun impor.
Merujuk data dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin), investasi yang mengucur ke industri alas kaki pada Januari - September 2025 mencapai Rp 19,23 triliun. Investasi industri alas kaki mendaki setinggi 73,24% dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai Rp 11,1 triliun.
Nilai investasi hingga kuartal III-2025 sudah melampaui capaian tahun 2024, yang kala itu tercatat sebesar Rp 15,2 triliun. Kenaikan juga terjadi dari sisi ekspor produk. Nilai ekspor alas kaki tumbuh 10,19% secara tahunan atau year on year (yoy) dari US$ 6,18 miliar menjadi US$ 6,81 miliar hingga September 2025.
Hanya saja, kenaikan ekspor juga diiringi dengan peningkatan impor. Nilai impor produk alas kaki meningkat 10,75% (yoy) dari US$ 1,58 miliar menjadi US$ 1,75 miliar hingga kuartal III-2025.
Baca Juga: Pemerintah Pertimbangkan Tambahan Kuota Impor BBM SPBU Swasta Tetap 10% di 2026
Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko mengungkapkan pertumbuhan investasi dan ekspor terdorong oleh sejumlah faktor. Salah satunya adalah efek perang dagang yang dicetuskan oleh Amerika Serikat (AS).
Kondisi ini membuka peluang investasi melalui relokasi pabrik dari beberapa negara seperti China dan Taiwan. Menurut Eddy, Indonesia lebih memiliki daya tarik dibandingkan sejumlah negara pesaing seperti Bangladesh dan Kamboja.
Mempertimbangkan berbagai kondisi, Eddy menyebut bahwa Indonesia dan India menjadi negara yang banyak dilirik sebagai tujuan relokasi pabrik.
"Industri alas kaki Indonesia sudah lebih dari 40 tahun. Jadi secara industri sudah pada posisi matang dan stabil," ungkap Eddy saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (9/12/2025).
Meski begitu, kinerja industri alas kaki pada tahun ini tak lepas dari sederet tantangan. Direktur Eksekutif Aprisindo, Yoseph Billie Dosiwoda menyoroti tarif resiprokal ke pasar AS sebesar 19% yang berlaku sejak 7 Agustus 2025.
Selain itu, berbagai dinamika yang terjadi di AS berdampak pada penurunan daya beli di Negeri Paman Sam tersebut.
Billie mengungkapkan, AS masih menjadi pasar utama dengan porsi sekitar 30% terhadap total ekspor produk alas kaki Indonesia. Aprisindo berharap pemerintah bisa kembali melakukan negosiasi agar tarif resiprokal ke pasar AS bisa terpangkas.
"Masih berharap kepada Pemerintah tarif resiprokal 19% ini dapat turun ke angka 15% atau 10% seperti awal. Sebelum 19% ekspor ke AS mengalami peningkatan, sekarang tren akan turun sampai akhir tahun," terang Billie.
Ancaman dari Lonjakan Impor Alas Kaki
Bergeser ke dalam negeri, Billie menyoroti dua tantangan utama di pasar domestik. Pertama, penurunan daya beli. Kondisi ini berdampak terhadap kinerja pelaku industri, terutama untuk skala Industri Kecil dan Menengah (IKM).
Lesunya daya beli tergambar dari tingkat pesanan pada musim puncak (peak season) seperti ramadan - idul fitri dan tahun ajaran baru sekolah, yang mengalami penurunan dibandingkan tahun 2024. Tantangan kedua adalah maraknya impor ilegal dan sepatu tiruan.
Billie bilang, IKM sepatu lokal yang memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) sulit bersaing dengan produk impor dengan harga yang lebih murah. "Impor ilegal dan sepatu tiruan masih menjadi ancaman. Ini merusak, belum lagi penjualan di marketplace yang tidak diterbitkan," terang Billie.
Eddy turut menyoroti peningkatan impor produk alas kaki, terutama yang berasal dari China. Eddy menegaskan pentingnya proteksi dari pemerintah, lantaran industri lokal tidak akan mampu bersaing secara harga dengan produk impor dari China.
"Kalau (pemerintah) nggak membatasi impor, maka akan sulit. Bisa jadi pabrik-pabrik yang ada, terutama yang (fokus ke pasar) domestik akan banyak yang tutup," kata Eddy.
Baca Juga: Proyek Panas Bumi 5,2 GW di RUPTL Baru Penuh Tantangan, Perlu Kebijakan Konsisten
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Alas Kaki Nusantara (Hipan) David Chalik juga mendesak keseriusan pemerintah untuk melindungi industri lokal dari gempuran produk impor. Apalagi di tengah kondisi pelemahan daya beli masyarakat saat ini yang membuat pasar lebih sensitif terhadap perbedaan harga.
"Pengusaha kecil-menengah sedang struggling untuk bisa bertahan, karena dampak importasi barang dari China yang luar biasa, mereka bisa menjual dengan harga yang sangat murah. Di tengah pasar yang price sensitive, seharusnya pemerintah bisa bijak membatasi barang impor," ungkap David saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (10/12/2025).
Di sisi yang lain, David meminta agar pemerintah bisa mempermudah importasi komponen atau bahan pendukung industri yang dibutuhkan dalam aktivitas produksi. Selain itu, IKM alas kaki lokal memerlukan dukungan berupa stimulus fiskal.
David mencontohkan keringanan pajak menjadi insentif yang diperlukan oleh IKM lokal di tengah tekanan daya beli, inflasi, serta pelemahan kurs. Hal lain yang menjadi sorotan David adalah kesulitan bagi IKM dalam mengakses permodalan atau kredit dari perbankan.
"Kesulitan permodalan juga menjadi salah satu isu. Harus ada kebijakan, khususnya ke perbankan untuk tidak terlalu ketat memberikan pinjaman kepada IKM. Ketika pemerintah menggelontorkan dana ke perbankan, jangan sampai akhirnya bank memberikan pinjaman ke perusahaan besar lagi," terang David.
Outlook untuk Tahun 2026
Menimbang berbagai tantangan tersebut, Hipan masih bersikap wait and see terhadap prospek industri alas kaki pada tahun 2026. David pun memberikan tiga catatan agar IKM alas kaki lokal bisa ikut menikmati prospek pertumbuhan pada tahun depan.
Pertama, dukungan pemerintah berupa kebijakan fiskal dan kemudahan IKM dalam mengakses permodalan. Kedua, pelaku industri menanti keseriusan pemerintah untuk membatasi impor dan mencegah peredaran produk ilegal, temasuk dengan pembenahan di Bea Cukai.
Ketiga, David mendesak agar perizinan di dalam negeri menjadi lebih mudah, murah dan cepat. Termasuk untuk mengurus berbagai sertifikasi seperti SNI dan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). "Jadi untuk tahun depan kami masih wait and see, meski masih ada secercah harapan," ungkap David.
Sementara itu, Aprisindo menargetkan kinerja industri alas kaki bisa tumbuh sekitar 10%. Jika berbagai kendala bisa teratasi, Eddy meyakini pertumbuhan tahunan industri alas kaki Indonesia bisa melonjak lebih dari 10%.
Baca Juga: Dunia Virtual (AREA) Bidik Pasar Menengah dan ISP Lokal untuk Layanan Data Center
"Sebetulnya industri ini masih berpeluang naik lebih dari itu (di atas 10%). Tapi di Aprisindo sendiri targetnya nggak muluk-muluk. Ada kenaikaan 10% setiap tahun, saya kira itu prestasi yang sudah luar biasa," kata Eddy.
Sedangkan Billie menyoroti bahwa pada tahun depan, pemerintah dan pelaku industri perlu mempersiapkan diri menyabut Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA). Perjanjian perdagangan antara Indonesia dan Uni Eropa itu diharapkan akan berlaku pada kuartal I-2027.
IEU-CEPA akan membuka peluang bagi pelaku industri alas kaki untuk memacu ekspor ke pasar Eropa. "Artinya masih ada waktu untuk menciptakan iklim industri yang kondusif dengan kebijakan de-regulasi, agar pelaku industri dapat melangsungkan usahanya dengan baik," tandas Billie.
Selanjutnya: BCA Life Sebut Lonjakan Inflasi Medis Masih Akan Terjadi di Tahun Depan
Menarik Dibaca: Promo Alfamart Noodle Fair 1-15 Desember 2025, Beli 2 Gratis 1 Nong Shim Ramyun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













