Reporter: Gentur Putro Jati | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. PT Arrtu Mega Energie akan membangun kilang pengolahan dimethyl ether (DME) berkapasitas 2x400.000 ton per tahun di daerah Eretan, Indramayu, Jawa Barat. Selain itu, Arrtu juga akan membangun sebuah pabrik gasifikasi batubara muda menjadi methanol (bahan baku DME) di Riau dengan kapasitas 900.000 ton.
Christoforus Richard, Presiden Direktur Arrtu menjelaskan, perusahaannya akan membangun kilang dan pabrik senilai US$ 1,9 miliar itu bersama PT Pertamina (Persero). Maklum, produksi DME kilang Arrtu akan digunakan Pertamina sebagai campuran elpiji yang dijual ke masyarakat.
"Saat ini kami sedang membahas porsi kepemilikan. Pertamina kemungkinan hanya 20% karena mereka berkomitmen membeli seluruh produksi DME," kata Richard, Rabu (24/6).
Menurutnya, proyek pembangunan kilang DME akan dimulai pada September 2009 dengan masa konstruksi dua tahun. Sehingga pasokan DME dari Arrtu ke Pertamina bisa dimulai pada 2011. Sementara untuk pabrik gasifikasi batubara muda menjadi methanol akan mulai digarap satu tahun sebelum kilang DME berproduksi.
"Untuk batubara, PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk (PTBA) menjadi pemasok kami sebanyak enam sampai tujuh juta ton per tahun. Kami menggunakan batubara berkalori 4.000 kCal ke bawah yang memang tidak bisa digunakan untuk pembangkit," katanya.
Bagi Pertamina, pasokan DME dari Arrtu bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan elpiji di Indonesia yang terus meningkat setiap tahun akibat program konversi minyak tanah. Menurut Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Achmad Faisal, kebutuhan elpiji sebelum program konversi dimulai hanya 1,1 juta ton per tahun. Adapun hampir 1 juta ton diproduksi oleh kilang milik Pertamina, dan sisanya impor.
Sementara, data terakhir Pertamina menunjukkan, sepanjang tahun ini, BUMN migas itu berencana melakukan impor elpiji sebanyak 1,15 juta ton untuk melengkapi kebutuhan elpiji dalam negeri sebanyak 3,07 juta ton.
"Tahun 2009, kami sudah terikat kontrak impor sebanyak 1 juta sampai 1,5 juta ton. Dengan DME, kami bisa mengurangi biaya impor yang dampaknya sangat besar bagi keuangan Pertamina. Belum lagi jika pada 2015, seluruh wilayah di Indonesia melakukan konversi. Kebutuhan elpiji bisa mencapai 7 juta ton sampai 10 juta ton," kata Faisal.
Senior VP Pemasaran dan Niaga Pertamina Hanung Budya mengatakan, selisih harga DME dan elpiji di pasar internasional sangatlah besar. "Harga freight on board elpiji saat ini sekitar US$ 400 per ton. Sementara DME hanya 80%-nya. Jadi penghematan bisa besar," kata Hanung.
Harga elpiji bisa lebih mahal karena daya bakarnya lebih tinggi ketimbang DME. Perbedaannya 6.500 kCal per kilogram untuk DME dibanding 10.500 kCal per kilogram untuk elpiji.
Karenanya, Pertamina tengah melakukan uji coba respon pengguna elpiji yang dicampur dengan kandungan DME sebesar 20%.
Uji coba dilakukan kepada 150 Kepada Keluarga dan 300 Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Jakarta. Harapannya, uji coba ini bisa mengetahui pendapat masyarakat terkait penggunaan campuran DME dalam elpiji.
Menurut Faisal, dengan komposisi DME 20% dan elpiji 80%, kemampuan daya bakarnya setara dengan bahan bakar elpiji. Sementara dengan komposisi 50%-50%, daya bakarnya bisa mencapai 105% dibandingkan elpiji.
"Tetapi kami targetkan 100% menggunakan DME untuk menggantikan elpiji. Meskipun saat ini daya bakarnya hanya 86% dibandingkan elpiji. Makanya, kami sedang melakukan penelitian pembuatan kompor khusus DME dengan salah satu produsen kompor besar di Indonesia untuk mengakali kelemahan itu," katanya.
Sekadar informasi, DME adalah senyawa kimia berbentuk gas pada suhu kamar yang memiliki karakteristik sama dengan elpiji. Beberapa negara yang sudah banyak menggunakan DME adalah China, Australia, Jepang, Iran dan Mesir.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News