Reporter: Dimas Andi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Situasi dilematis kini dihadapi oleh para produsen rokok nasional. Di satu sisi, para produsen rokok tetap dituntut mempertahankan kinerjanya di tengah era tarif cukai rokok yang tinggi.
Di sisi lain, ruang gerak pebisnis rokok kian terbatas seiring isu bahaya merokok bagi kesehatan yang kerap mencuat ke publik. Bila salah ambil langkah, kinerja industri rokok Tanah Air bisa makin terpuruk.
Rokok memang bisa berdampak negatif dan mematikan bagi manusia, apalagi ongkos pengobatannya cukup mahal. Merujuk riset Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), beban biaya kesehatan untuk penyakit terkait rokok pada 2019 silam diperkirakan mencapai Rp 27,6 triliun.
Dari jumlah itu, BPJS Kesehatan harus menanggung porsi biaya kesehatan Rp 15,5 triliun. Sayangnya, jumlah alokasi maksimum penerimaan cukai rokok untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hanya mencapai Rp 7,4 triliun.
Tingginya biaya kesehatan untuk penyakit terkait rokok tidak bisa dianggap remeh. Lewat PP No. 109 Tahun 2012, pemerintah berusaha menekan konsumsi rokok di dalam negeri. Mulai dari upaya penambahan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), pembatasan iklan rokok, hingga memperbanyak simbol bahaya merokok bagi kesehatan.
Baca Juga: Uji Coba Operasional Terbatas LRT Jabodebek Mulai 12 Juli 2023
Hal ini tentu mempersulit para produsen rokok untuk mengembangkan bisnisnya. Padahal, produsen rokok sudah dihadapkan dengan tingginya cukai hasil tembakau. Contoh saja, awal pandemi tahun 2020 lalu rata-rata tarif cukai rokok naik 23%. Untuk 2023, tarif cukai rokok naik 10%. Kenaikan tarif cukai rokok sudah jauh melampaui pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional.
"Kenaikan cukai yang tajam di tengah penurunan daya beli akibat pandemi membuat penjualan rokok turun drastis," imbuh Benny Wachjudi, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Selasa (5/7).
Gaprindo pun mencatat, produksi industri hasil tembakau (IHT) menyusut dari 355,8 miliar batang pada 2019 menjadi 330,7 miliar batang pada 2022. Khusus untuk sigaret putih mesin (SPM), produksinya menciut dari 15,2 miliar batang pada 2019 menjadi 10,5 miliar batang pada 2022.
Guna mempertahankan bisnis, produsen rokok sebisa mungkin menekan biaya produksinya, berinovasi melalui diversifikasi produk, sampai mendorong ekspor. Namun, harus diakui bahwa upaya-upaya tersebut sulit direalisasikan secara optimal mengingat banyaknya tantangan yang menghantam industri rokok.
Di sisi lain, Gaprindo tidak ingin industri rokok terus-menerus disudutkan akibat isu kesehatan. Tanpa mengecilkan nominal biaya kesehatan untuk penyakit terkait rokok, Benny berpendapat, pada dasarnya penyakit yang diderita manusia bisa timbul oleh berbagai faktor. Misalnya, pola hidup yang kurang sehat, kondisi udara dan air di lingkungan hunian atau tempat kerja, hingga faktor bawaan atau genetika.
Baca Juga: Pelaku Usaha Dukung Pemerintah Cegah Penyalahgunaan Produk Tembakau Alternatif
"Menimpakan salah satu penyakit hanya akibat rokok saja rasanya tidak adil," imbuh dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menilai, apapun kondisi ekonominya, industri rokok tidak akan mati karena konsumennya selalu ada. Hanya saja, jika kebijakan tarif cukai tinggi terus berlangsung, kemungkinan para konsumen akan lebih selektif membeli rokok yang diinginkannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News