Sumber: KONTAN |
JAKARTA. Saham PT Makro Indonesia, pusat perkulakan pertama di Indonesia, akhirnya lepas dari pelukan SHV Holdings NV ke tangan Lotte Group, ritel besar asal Korea Selatan. Rencana ini memang bukan rencana kemarin sore. Sudah sejak pertengahan tahun ini, SHV Holdings NV berniat melego kepemilikan sahamnya di PT Makro Indonesia. Salah satu alasannya, SHV Holdings akan memfokuskan strategi pengembangan Makro di negara lain, khususnya Thailand.
Ketua Umum Aprindo, Benjamin J Mailool menilai positif langkah akusisi Lotte terhadap Makro Indonesia ini. “Ini menunjukan bahwa dunia ritel Indonesia memang prospektif dan atraktif, serta bahwa kepercayaan asing terhadap Indonesia bagus. Saya melihat lebih banyak positifnya,”kata dia.
Hanya saja, jika pemain lokal tidak segera berbenah diri, maka akan semakin tersudutkan. Bagi Benjamin, ini justru menjadi pecut bagi pemerintah untuk lebih memberdayakan pemain lokal agar bisa bersanding dengan pemain asing. “Jangan dilihat sebagai ancaman, tetapi tantangan, karena globalisasi ini memang tidak terhindarkan,” tegasnya.
Benjamin mengimbuhkan, Lotte merupakan pemain besar di Korea. Itu sebabnya, Indonesia semestinya bangga lantaran Lotte akan membuat sektor ritel lebih bergairah.
Pandangan yang berbeda diberikan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) Rudy Sumampouw. Ia menegaskan, populasi warga Indonesia yang besar membuka potensi usaha ritel berkembang pesat. Ini yang menjadi kesadaran pengusaha asing. Karena itu, ketika keran investasi asing terbuka untuk sektor ritel, langkah pembelian pun marak terjadi. Potensi ritel terlihat dari pendapatan setiap tahunnya.
Pada 2007, pendapatan ritel dari anggota Aprindo mencapai Rp 65 triliun. Tahun ini, pendapatan ditargetkan naik sebesar 15%. “Status Indonesia sebagai negara berkembang membuat potensi makin besar lagi,” kata Rudy, Selasa (7/10).
Rudy menilai, dalam beberapa tahun ke depan, besar kemungkinan usaha ritel adalah milik asing. Ujung-ujungnya, tidak mudah bagi pengusaha lokal untuk menguasainya kembali lantaran harga jual usaha ritel tidaklah murah. Itu sebabnya, pemerintah selaku pemegang kebijakan tertinggi diminta segera turun tangan membatasinya. Yaitu, dengan membuat aturan yang jelas perihal kepemilikan asing dalam usaha ritel. Contohnya, membikin zonasi yang jelas antara usaha ritel besar maupun kecil, serta pasar tradisional.
Perbanyak Ekspansi
Nyatanya, sejumlah ritel lokal tak galau dengan kemunculan Lotte di Indonesia. Misalnya saja PT Matahari Putra Prima Tbk yang memiliki Hypermart. Vice President Corporate Communication PT Matahari Putra Prima Tbk Roy N. Mandey menegaskan, Lotte tetap membutuhkan waktu untuk penyesuaian usaha di Indonesia. “Celah ini yang kita amati dan perhatikan,” kata Roy.
Satu strategi yang diterapkan Matahari adalah dengan berekspansi sebanyak-banyaknya. Untuk catatan saja, saat ini Matahari telah memiliki gerai ritel skala besar dan kecil sebanyak 39 unit. Jumlah ini akan terus menggemuk saban tahunnya dengan merangsek di pasar daerah.
Meski penjualan usaha ritel lokal kepada asing sedang marak, Roy mengaku perusahaannya belum berpikir untuk menjual Hypermart kepada pihak asing. “Kami sudah pada track yang benar dan terprogram. Dengan kekuatan program kita dan dukungan pemerintah dan suplier kita optimis masih mampu bersaing,” katanya.
Namun, ada satu hal yang masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah, yaitu membikin aturan yang lebih jelas dan terencana untuk ritel asing di Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News