Reporter: Herlina KD, Petrus Dabu | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Kalangan pengusaha perkebunan sawit resah. Mereka keberatan dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan (moratorium) Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Kamis, 19 Mei 2011.
Pasalnya, penerbitan beleid baru ini membuat para pengusaha perkebunan tak bisa leluasa lagi membuka lahan baru. Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Fadhil Hasan menyatakan, beleid ini diskriminatif karena memberikan pengecualian kepada beberapa aktivitas ekonomi, yaitu geothermal, migas, tenaga listrik, lahan untuk padi dan tebu.
Di sisi lain, beleid itu menutup kesempatan bagi aktivitas industri lain dalam berekspansi, termasuk sektor perkebunan sawit. "Padahal, industri kelapa sawit merupakan salah satu industri yang strategis dan penting dalam perekonomian Indonesia," kata Fadhil, Minggu (22/5).
Gapki menilai, beleid itu tidak sepenuhnya mengakomodasi aspirasi pelaku industri sawit. Padahal, pengusaha perkebunan kelapa sawit telah menyampaikan usulan, tapi diabaikan pemerintah sehingga merugikan kepentingan pengusaha dan petani Indonesia. "Makanya, kami meminta pemerintah menunda implementasi Inpres ini dan segera mengeluarkan Inpres tentang pemanfaatan lahan terdegradasi sesuai dengan Letter of Intent dengan IMF," kata Fadhil.
Menurut Fadhil, Inpres baru ini juga berpotensi memunculkan konflik dengan aturan lainnya, seperti Undang-Undang No.41/1999 tentang Kehutanan, serta peraturan pemerintah mengenai lahan gambut. Sebab, dalam Inpres ini, moratorium ini berlaku untuk semua lahan gambut.
Padahal, peraturan pemerintah yang berlaku sekarang, yaitu Keppres No.32/1990 dan Permentan No.14/2009, masih membolehkan penggunaan dan pemanfaatan lahan gambut dengan kedalaman kurang dari tiga meter.
Berbeda dengan Gapki, General Manager Corporate Affairs PT Rajawali Plantations, Hernandy R. Karli tidak mempermasalahkan penerbitan Inpres tersebut. Ia mengaku, beleid tersebut tidak akan mengganggu bisnis Rajawali. Sebab, "Selama ini, perusahaan kami tidak melakukan pembukaan hutan yang benar-benar baru. Izin yang diberikan adalah hutan tanaman industri (HTI) atau hak pengusahaan hutan (HPH) yang sebelumnya sudah digunakan," jelasnya, Minggu (22/5).
Senada dengan Hernandy, Direktur Utama PT Smart Tbk, Daud Dharsono juga mengaku tidak keberatan dengan terbitnya Inpres itu. Ia melihat Inpres itu positif karena merupakan moratorium izin baru di atas areal hutan primer dan lahan gambut. "Ini sejalan dengan kebijakan konservasi hutan yang dijalankan PT Smart," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News