Reporter: Agung Hidayat | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski sudah ada beberapa regulasi perpajakan bagi industri sepatu, seperti keringanan pajak oleh pemerintah, hal tersebut dinilai belum cukup untuk membuat industri mengembangkan usahanya. Beberapa masalah masih membayangi industri padat karya ini, salah satunya persoalan mengenai peraturan Upah Minimum Pekerja (UMP).
Firman Bakri, Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Sepatu Indonesia (Asprisindo) mengatakan meski regulasi seperti pemberian tax allowance sudah ada, namun implementasi masih dirasa kurang. "Kalau ada tax allowance juga kurang menarik, tidak banyak yang ambil," sebutnya kepada Kontan.co.id, Minggu (25/11).
Pemberian tax allowance sebenarnya cukup variatif seperti amortisasi aset atau pengurangan PPh. Namun menurut Firman, yang ideal dan diharapkan berupa tax holiday bagi industri baru maupun perusahaan sepatu yang telah eksisting.
"Sebab industri ini penyerapan tenaga kerja tinggi, sementara UMP makin tinggi pula. Padahal kami punya orientasi ekspor yang besar dan harus berkompetisi di tingkat global," urai Firman.
Di jabodetabek misalnya, UMP menurut industri sepatu cenderung tinggi sehingga bagi pabrikan yang sudah tidak tahan kemungkinan berpindah ke daerah dengan UMP yang lebih bersahabat seperti Jawa Tengah.
Sebelumnya di kabarkan bahwa hingga kuartal-III 2018, pertumbuhan industri sepatu domestik di Jawa Timur turun sebesar 20%, sedangkan ekspor turun sekitar 7%-10%. Firman kurang mengetahui penyebab tersebut, menurutnya faktor UMP yang tinggi di provinsi tersebut diduga meningkatkan banyak beban perusahaan sepatu.
Kondisi saat ini, industri besar sepatu di tanah air yang menangani produksi sepatu branded kebanyakan mengerjakan pesanan untuk pasar ekspor. Sementara industri kelas menengah dan kecil lainnya dominan menyuplai kebutuhan dalam negeri.
Menurut Firman, peraturan menteri keuangan yang merilis PPh produk impor yang baru harusnya menguntungkan bagi pasar dalam negeri. "Jadi ada barrier bagi produk luar negeri untuk masuk," terangnya.
Konsumsi sepatu di dalam negeri, erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi nasional serta perpindahan gaya hidup turut menyerap pasar sepatu. Berapa volume permintaan sepatu di tingkat lokal, Firman tidak memiliki data pasti yang jelas diasumsikan setidaknya setiap penduduk Indonesia memiliki dua pasang sepatu.
Maka, dengan populasi Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa, setiap tahunnya pasar dalam negeri diperkirakan Firman menyerap 500 juta pasang sepatu. "Dari sisi produksi di tingkat ekspor sebenarnya hampir sama dengan permintaan dalam negeri," katanya.
Sementara itu produsen dan distributor seperti PT Sepatu Bata Tbk (BATA) masih mengupayakan ekspansi ritel di daerah, khususnya Indonesia Timur. Potensi ini dilihat manajemen seiring usaha pemerintah untuk terus memacu infrastruktur untuk mengembangkan tersebut.
Heru Hartanto, Retail Sales Manager BATA menyampaikan untuk pasar Sulawesi dan Papua saja saat ini perusahaan sudah memiliki 47 gerai. Jumlah tersebut bakal meningkat ke depan seiring dengan rencana ekspansi perusahaan.
"Daerah timur sangat potensial karena buying power tinggi dan less competitor, cuma kendala di distribusi karena lead time transportasinya cukup lama," ujarnya.
Sebagai catatan, perusahaan telah menargetkan menambah 15 gerai baru di semester II tahun ini. Tidak hanya itu, perusahaan juga bakal merenovasi 50 gerai. Sepanjang tahun ini, perusahana mengalokasikan belanja modal sebesar US$ 3 juta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News