Reporter: Nurmayanti | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Pengusaha industri makanan dan minuman semakin serius dengan ucapannya. Mereka berencana tetap melanjutkan langkah hukum berupa uji materi alias judicial review terhadap beberapa pasal yang tertuang dalam UU nomor 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Judicial Review ini dalam rangka penolakan kewajiban atau mandatory sertifikasi halal berlaku pada produk makanan berbasis peternakan dan kesehatan hewan.
Langkah hukum ini dilayangkan kalangan industri yang tergabung dalam Pusat Informasi Produk Industri Makanan dan Minuman (PIPIMM), antara lain Industri Pengolahan Susu (IPS), Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia (Nampa), Asosiasi Produsen Makanan Bayi (APMB), Asosiasi Roti Biskuit dan Mie Instan (Arobim), dan Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi). “Pasal yang kami gugat pasal 58 dan 56 dalam UU tersebut. Judicial review kami ajukan awal Oktober ini dan kami sudah siap,” kata Ketua Pusat Informasi Produk Makanan dan Minuman (PIPIM) Suroso Natakusumah, Rabu (30/9).
Mereka beralasan, kewajiban sertifikasi halal bakal menggerus kelangsungan industri. Sebab, kebijakan ini menciptakan ekonomi dengan biaya tinggi. Selain itu, pengusaha dipastikan sulit menerapkan secara teknis, mengingat tak sedikit bahan baku yang mesti dilakukan sertifikasi.
Sekadar kilas balik, pasal 58 yang menjadi konsen gugatan pengusaha menyebutkan, produk hewan yang diproduksi atau dimasukkan ke Indonesia wajib disertai sertifikat veteriner dan halal. Ketentuan ini dinilai berpotensi menimbulkan kerugian terhadap produk asal hewan dan turunannya.
Pihak yang paling merasakan dampak dari penerapan UU itu adalah industri kecil dan menengah (IKM). Misalnya, IKM yang memproduksi kerupuk kulit, telur, madu, roti dan lainnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News