Reporter: Muhammad Julian | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nickel Industries Limited (NIC) mencuil peluang pasar bahan baku baterai kendaraan listrik. Perusahaan asal Australia itu berencana membangun fasilitas pengolahan High Pressure Acid Leaching (HPAL) untuk menghasilkan Mixed Nickel-Cobalt Hydroxide Precipitate (MHP), Nikel Sulfat (NiSO4), dan katoda nikel bersama Tsingshan dan mitra lainnya di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi.
“Kami berencana mengumumkan final investment decision (FID) keputusan investasi finalnya dalam beberapa pekan mendatang,” ujar Managing Director NIC, Justin C. Werner, Rabu (4/10).
Menurut rencana, fasilitas HPAL yang hendak dibangun bakal memiliki kapasitas produksi 72.000 ton kandungan nikel per tahun. Estimasi kebutuhan investasinya berkisar US$ 2,3 miliar. NIC berencana membiayai 55% dari kebutuhan investasi tersebut, sisanya dibiayai oleh mitra.
Fasilitas ini kelak bakal melengkapi portofolio bisnis nikel NIC. Sedikit informasi, menurut catatan Kontan.co.id, NIC memiliki 80% saham di perusahaan tambang nikel pemasok bijih limonit dan saprolit high-grade ke Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), yaitu PT Hengjaya Mineralindo.
Baca Juga: United Tractors (UNTR) Resmi Menggenggam 19,99% Saham Nickel Industries
Sebelumnya, perusahaan ini telah mengoperasikan 12 lini produksi rotary kiln electric furnace (RKEF). Sebanyak 10 lini di antaranya memproduksi nickel pig iron (NPI) untuk memenuhi kebutuhan pasar stainless steel, sedang dua lini lainnya memproduksi nickel matte yang bisa dikonversi menjadi nikel sulfat untuk pasar baterai kendaraan listrik.
Bukan tanpa alasan NIC masuk ke pasar bahan baku baterai kendaraan listrik. Menurut Werner, tingkat permintaan dari pasar baterai kendaraan listrik berpeluang menguat dalam beberapa tahun ke depan.
“Permintaan nikel dari pasar kendaraan listrik berpotensi menguat dari 500.000 ton menjadi 1,5 juta ton per tahun dalam waktu 10 tahun ke depan, jadi potensi permintaan ke depan sangat kuat,” tutur dia.
Sejauh ini, NIC dan mitra belum mengantongi sales contract untuk output fasilitas HPAL yang hendak dibangun. Kendati demikian, manajemen, menurut klaim Werner, menjumpai minat yang besar di kalangan calon off taker.
Baca Juga: BYD Hampir Salip Tesla di Bisnis Kendaraan Listrik
Memanfaatkan energi terbarukan
NIC meningkatkan kontribusi energi terbarukan dalam bauran energinya. Itulah sebabnya, NIC menggandeng PT Sumber Energi Surya Nusantara (SESNA) untuk penyediaan energi surya dalam memenuhi kebutuhan energi smelternya.
Keduanya telah melakukan penandatanganan Perjanjian Sewa Operasional dan Layanan dengan SESNA pada Rabu (4/10). SESNA bakal mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berupa solar power plant berkapasitas puncak 200 Megawatt peak (MWp) dengan baterai berkapasitas 20 MWh untuk smelter NIC.
Pengembangan PLTS itu diproyeksikan akan membutuhkan dana mencapai US$ 150 juta. Hitungan manajemen, energi dari solar power plant SESNA akan berkontribusi sebesar 18%-20% dari total energi yang dibutuhkan NIC.
Baca Juga: Jadi Produsen Baterai Kendaraan Listrik, Indika Energy (INDY) Bentuk Anak Usaha Baru
Transisi energi secara bertahap ini dipercaya manajemen bakal mengurangi emisi gas rumah kaca. Proyeksinya, pemanfaatan energi surya 200 MWp adalah sebesar 2.536.817.699 Kg. Energi yang dihasilkan setara dengan pembakaran 88.121.035.875 kg bahan bakar solar.
“Proyek ini merupakan bagian dari langkah kami untuk mereduksi emisi karbon,” terang Werner.
Pendiri dan CEO SESNA Group, Rico Syah Alam, mengatakan bahwa SESNA percaya diri dalam menyelesaikan proyek dengan NIC. Dia menyebut, SESNA sudah punya pilot project dengan NIC, jadi ini akan menjadi kerja sama yang kedua.
“Tantangan paling sulit dalam instalasi PLTS ground-mounted adalah bagaimana mencari lahan yang paling cocok, dan kami sudah mengatasi tantangan itu,” imbuh dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News