kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.923.000   4.000   0,21%
  • USD/IDR 16.275   35,00   0,22%
  • IDX 7.199   10,61   0,15%
  • KOMPAS100 1.051   2,03   0,19%
  • LQ45 818   1,46   0,18%
  • ISSI 226   0,79   0,35%
  • IDX30 428   0,31   0,07%
  • IDXHIDIV20 508   3,38   0,67%
  • IDX80 118   0,22   0,19%
  • IDXV30 121   1,20   1,00%
  • IDXQ30 140   0,04   0,03%

Banyak masalah membelit, harga gas sulit turun


Senin, 19 September 2016 / 10:36 WIB
Banyak masalah membelit, harga gas sulit turun


Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Penurunan harga gas untuk industri sampai saat ini belum terealisasi. Meski,  Presiden Joko Widodo dan Menteri ESDM sudah menerbitkan aturan penurunan harga gas. Yakni Peraturan Presiden No 40/2016 yang terbit Mei, disusul Permen ESDM No 16/2016. 

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Syamsir Abduh mengatakan Kementerian Perindustrian dan DEN juga telah selesai mengkaji harga gas bagi konsumen akhir. Hasilnya,  harga gas  yang paling pas adalah US$ 7,18 per mmbtu. "Untuk mendapatkan harga itu, harus disisir dari hulu ke hilir supaya masuk ke industrinya US$ 7,18 per mmbtu," ujar dia, Minggu (18/9).

Hanya dengan harga acuan tersebut, harga gas di kepala sumur atau hulu  bisa ditekan hingga mencapai US$ 4 per mmbtu.  Berbeda dari penetapan harga gas oleh pemerintah saat ini yang paling rendah sebesar US$ 6 per mmbtu. "Pertanyaan kami, angka US$ 6 per MMBTU muncul darimana? Apakah ada kajian? Angka ini tidak ada yang bisa jawab. Berarti angka ini turun dari langit. Magic number itu, tidak ada dasar kajiannya US$ 6 per MMBTU," ujar dia.

Menurut Syamsir, ada beberapa hal yang membuat harga gas sulit turun. Pertama, dalam rantai distribusi gas ada pajak-pajak berganda antara midstream (industri perantara) dan transportasi. "Rencana akan diturunkan atau bahkan dihilangkan. Bahkan ada surat dari Kementerian ESDM ke kementerian Keuangan cuma belum dibalas," ujarnya.

Kedua, rantai distribusi gas yang panjang. Pemerintah harus memotong mata rantai transmisi distribusi gas yang panjang. Untuk itu, DEN mengusulkan hanya satu badan usaha yang mengurus transmisi distribusi gas yaitu Pertamina. "Artinya mesti ada deregulasi. Infrastruktur yang sudah dibangun oleh trader dibeli saja," kata Syamsir.

Ketiga, margin dari industri hilir sulit diturunkan sebab  UU Migas telah membuat industri migas terutama jual beli gas semakin terbuka sehingga trader diizinkan masuk dalam distribusi gas. "Untuk margin hilir masih susah diatur, jadi yang tidak punya infrastruktur dikeluarkan saja," kata Syamsir.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menyatakan, harga gas pasar dalam negeri terbilang mahal,  bisa US$ 9 per mmbtu, sementara harga gas yang diekspor hanya US$ 4 per mmbtu. Selain itu, juga harga gas di dalam negeri masih teramat mahal jika dibandingkan dengan harga gas di negera tetangga.

Misalnya di dalam negeri harganya berkisar US$ 8 sampai US$ 14 per mmbtu, sementara harga gas di Singapura yang sebesar US$ 6-US$ 8 per mmbtu. "Tingginya harga gas berimbas pada naiknya komoditas yang diproduksi," ungkap dia.

Trader itu legal

Bukhari, Direktur Utama PT Gresik Migas (GM) mengatakan, trader gas tidak bisa disalahkan sebagai penyebab mahalnya harga gas bagi industri. Pasalnya, struktur harga gas saat ini sejak di hulu atau harga gas di well head (kepala sumur) sudah mencapai US$ 8 per MMBTU seperti yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat.  

"Ekspektasi konsumen US$ 5-6 per mmbtu dari awal saja tanpa keberadaan pemain hilir sudah terbantahkan. Sejak awal harga gas sudah mahal," kata Bukhari.

Apalagi kondisi industri yang terjadi di Indonesia adalah sumber gas dan industrinya berada di lokasi yang berbeda. Seperti harga gas di Sumatera Utara yang lebih dari US$ 10 per MMBTU sudah masuk akal karena harga beli gas dari hulu sudah mencapai US$ 8 per MMBTU dan belum ditambah biaya toll fee serta biaya regasifikasi.  

"Menyalahkan kenakalan trader sebagai penyebab mahalnya harga gas tidak masuk akal. Jangan gunakan kasus kecil dibanding volume yang besar," imbuhnya.

Apalagi, keberadaan trader gas legal secara hukum sejak keluarnya UU Migas. "Dirjen Migas mengeluarkan izin bagi badan niaga berfasilitas dan tidak berfasilitas memiliki izin. Ini pangkal terjadinya sehingga badan usaha ada yang menambah rente," katadia. 

Dia pun mencontohkan harga gas di Gresik dimana harga gas tanpa melalui transmisi sudah sebesar US$  8,99 per mmbtu. Padahal trader gas berekspektasi harga hanya US$ 6 per mmbtu. Sehingga harga gas menjadi mahal. Padahal margin trader gas sudah dibawah US$ 1. Selama ini Gresik Migas membeli gas dari PHE WMO.          

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×