kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Begini kata pengamat telko soal terbitnya PP No46/2021


Senin, 22 Februari 2021 / 15:03 WIB
Begini kata pengamat telko soal terbitnya PP No46/2021
ILUSTRASI. internet


Reporter: Amalia Nur Fitri | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah resmi meluncurkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 Tentang Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran. Dalam peraturan yang ditetapkan dan diundangkan pada 2 Februari 2021 tersebut, jalan pelaku usaha layanan OTT disinyalir lancar untuk merambah pasar Indonesia.

Hal ini terlihat pada pasal 15 PP Nomor 46 Tahun 2021 yang menyebutkan, pelaku Usaha baik nasional maupun asing yang menjalankan kegiatan usaha melalui internet kepada pengguna di wilayah Indonesia. 

Dalam melakukan kerja sama usahanya dengan penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa Telekomunikasi dilaksanakan berdasarkan prinsip adil, wajar, dan non-diskriminatif, serta menjaga kualitas layanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan ketentuan pasal 15, maka tidak ada kewajiban bagi OTT untuk bekerja sama, sedangkan pada draf dan wacana sebelumnya, Pemerintah mewajibkan layanan OTT menjalin kerja sama dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi.

Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menilai perubahan tersebut tidaklah jelas. "Ini yang tidak jelas. Nampaknya ada tekanan untuk menghapus kata mewajibkan menjadi tidak wajib. Karena dihapuskan, aturannya menjadi sumir. Dan operator telekomunikasi seolah menjadi obyek penderita saja bukan subyek kerja sama," jelasnya kepada Kontan, Senin (22/2).

Baca Juga: Ini isi dari PP No. 46 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran

Ia melanjutkan, Aturan PP yang seharusnya sesuai UU adalah mengatur dan membina penyelenggara telekomunikasi, dalam PP ini menjadi terbalik dan malah jadi pihak yang diatur oleh penyelnggara OTT karena yang menjadi subyek adalah penyelenggara OTT

Mengenai besaran kontribusi layanan OTT terhadap penerimaan negara, Heru menilai selama ini kontribusi OTT khususnya asing, harus dipaksa terlebih dahulu untuk bayar pajak.

"Itupun belum semua. Aturannya kan juga baru dan ada yang belum diatur. Dan pajak yang dibayarkan adalah PPN, yang sesungguhnya berasal dari pengguna Indonesia yang membeli layanan. Sementara pajak penghasilan OTT belum tersentuh," sambung dia.

Heru melanjutkan, hal tersebut juga terjadi karena Menteri Keuangan mengeluarkan pernyataan untuk menunggu atutan dari Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

"Kan aneh, sebab kita bukan member OECD. Dan sesuai perkiraan, aturan OECD yang katanya Oktober 2020 juga molor. Dengan demikian, PP No.46 Tahun 2021 membuat seolah Indonesia tak berdaulat mengatur pemain OTT khususnya asing yang memang mendominasi," tutup dia.

Selanjutnya: PP No. 46 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran telah terbit, ini penjelasannya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×