Reporter: Bunga Claudya | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Perusahaan-perusahaan pengembang proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) kini tengah pusing. Pasalnya, biaya sewa rig untuk satu sumur pengeboran naik signifikan, dari sebelumnya US$ 4 juta menjadi US$ 10 juta.
Chief Executive Officer and President PT Star Energy Rudi Suparman menjelaskan, meski bisnis pengeboran eksplorasi migas masih prospektif, perusahaan migas dan perusahaan panas bumi kini kesulitan lantaran tarif sewa rig makin mahal.
Meskipun rig yang digunakan untuk minyak dan gas sebenarnya sama dengan rig untuk pengeboran panas bumi, dan hanya ada sedikit modifikasi pada komponen pengeboran, kontraktor gas dan minyak musti rebutan mendapatkan rig.
Kini, kondisinya tak jauh berbeda. Pada saat kontraktor migas sedang lesu, sewa rig tetap mahal lantaran suplainya berkurang.
Apalagi permintaan untuk pengeboran panas bumi juga meningkat. "Musim kemarau yang pas untuk pengeboran panas bumi menjadi momentum perusahaan geothermal memanfaatkan kesempatan melakukan pengeboran," ungkap Rudi kepada KONTAN, Minggu (2/8).
Rudi menjelaskan, selama ini Star Energy menggunakan rig dengan spesifikasi berkapasitas 1.500-2.000 horse power. "Di Indonesia belum banyak perusahaan jasa migas yang bisa menyediakannya," ujarnya.
Karenanya, Star Energy harus menyewanya dari luar negeri. Alhasil, ongkos sewa menjadi mahal manakala nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat terus melemah seperti sekarang. Seperti kita tahu sepanjang paruh pertama tahun ini rupiah sudah melemah lebih dari 7%.
Tak cuma selisih kurs yang jadi hambatan. Rudi menceritakan, pengiriman rig ke lokasi pengeboran panas bumi di Indonesia menjadi makin mahal lantaran infrastruktur yang buruk. "Biaya infrastruktur di Indonesia selama ini cukup besar dan selalu dibebankan pada biaya pengeboran," kata dia.
Setali tiga uang, keluhan senada diungkapkan Hendi Suhendi, Public Relation Manager Pertamina Geothermal Energy. "Sekarang biayanya bisa melebihi US$ 10 juta per sumur," ungkap Hendi. Angka ini tentu tak semahal periode beberapa tahun lalu saat nilai kurs rupiah masih di bawah Rp 10.000 per dollar AS.
Akibat mahalnya ongkos penyewaan rig bagi pengeboran panas bumi, maka minat untuk berinvestasi panas bumi di Indonesia juga tak kunjung meningkat. Ketua Asosiasi Panas Bumi, Abadi Purnomo mengungkapkan, perusahaan yang selama ini sudah berbisnis panas bumi seperti Chevron, Star Energy, Pertamina Geothermal pun tak banyak ekspansi.
Pun demikian, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Rida Mulyana optimistis akan ada investor masuk bisnis panas bumi dalam waktu dekat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News