kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45900,65   -5,64   -0.62%
  • EMAS1.318.000 0,61%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bisa Bantu PLN & Pertamina, Penambahan Subsidi Energi Dinilai Sudah Tepat


Kamis, 26 Mei 2022 / 14:30 WIB
Bisa Bantu PLN & Pertamina, Penambahan Subsidi Energi Dinilai Sudah Tepat
ILUSTRASI. SPBU Pertamina


Reporter: Muhammad Julian | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kebijakan pemerintah dan Pertamina untuk menjaga agar harga BBM  subsidi dan penugasan tidak naik di tengah tingginya harga minyak mentah dunia mendapatkan apresiasi sejumlah pengamat ekonomi.  Dalam hal ini,  menambah subsidi BBM dalam APBN 2022 dinilai tepat dibanding opsi menaikkan harga.

Pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira, mengatakan, penambahan subsidi BBM sejatinya merupakan imbas dari disparitas harga harga BBM subsidi dan nonsubsidi yang terlampau jauh. Harga pertamax dan pertalite selisihnya sangat jauh sehingga terjadi migrasi dari BBM kadar oktan (RON) 92 jenis pertamax ke BBM RON 90, yaitu pertalite.

“Dengan kondisi ini pemerintah harus all out menjaga subsidi energi. Dana masih tersedia asal pemerintah mau fokus ke stabilisasi harga energi sekaligus membantu meringankan cashflow Pertamina,” ujar Bhima sebagaimana dikutip dari siaran pers, Rabu (25/5).

Pemerintah dan Pertamina kompak untuk tidak menaikkan harga solar subsidi. Dengan begitu, harga solar subsidi masih dipertahankan di angka Rp 5.150 per liter, sementara pertalite dipertahankan pada harga Rp7.650 per liter. Sebagai pembanding, harga keekonomian dua jenis BBM diperkirakan berada di angka  Rp 12.119 untuk solar dan Rp12.665 per liter pertalite.

Menyoal arus kas Pertamina, Bhima berpandangan bahwa pemerintah dapat memprioritaskan alokasi pembayaran piutang ke Pertamina yang nilainya sekitar Rp 100 triliun.  “Pemanfaatan windfall pendapatan negara dari booming harga komoditas idealnya sebagian juga masuk ke subsidi energi,” ujar Bhima.

Peneliti Center for Economics and Development Studies (CEDS) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti mengatakan, i Indonesia terjadi peningkatan jumlah kemiskinan ekstrem akibat pandemi. Oleh karenanya, kebijakan fiskal untuk menahan kenaikan harga BBM menjadi penting, sebab  kenaikan harga BBM bisa merugikan stabilitas pemulihan ekonomi Indonesia ke depan.

Bagi Yayan, kebijakan fiskal untuk menambah subsidi BBM sendiri merupakan affirmative action dari sisi input faktor produksi untuk sektor transportasi dan biaya logistik demi menjaga stabilitas inflasi secara domestik.

“Saya kira benefit pemulihan ekonomi akan lebih besar dibandingkan dengan cost dari subsidi solar dan pertalite. Walaupun dalam jangka pendek kebijakan instan ini tidak begitu mendidik dalam kondisi normal karena tidak akan mengembangkan energi alternatif,” ujarnya.

Lebih lanjut, Yayan menilai bahwa pemerintah harus mereformasi kebijakan subsidi energi. Menurut Yayan, efektivitas subsidi energi sangat kecil dan tidak mendidik. Harapan Yayan,  pemerintah bisa mempertegas bahwa masyarakat perkotaan yang memiliki pendapatan lebih tinggi dan mampu untuk membeli pertamax.

Sementara itu, pertalite difokuskan pada kendaraan umum (pelat kuning) dan wilayah suburban atau pedesaan yang pendapatannya lebih kecil dan aksesnya lebih terbatas dibandingkan perkotaan.

“Mengapa ini dilakukan? Dengan pembagian ini akan memudahkan pelayanan penggunaan energi agar tepat sasaran dan tidak menyulitkan masyarakat untuk mengakses BBM. Jika kebijakan ini segmentatif akan menjadi bumerang bagi masyarakat yang nakal,” terang Yayan.

Guru Besar Bidang Manajemen dari President University, Jony Oktavian Haryanto  mengatakan,harga BBM dan LPG nonsubsidi sudah dinaikkan di Indonesia. Oleh karenanya, opsi untuk kembali menaikkan harga BBM  secara politis sangat tidak populer, mengingat bahwa kondisi masyarakat yang sedang susah.

“Makanya, terobosan yang dilakukan pemerintah mau tidak mau harus memberikan subsidi. Imbasnya angka subsidi membengkak seperti yang disampaikan Menteri Keuangan kemarin,” kata Jony.

Lebih lanjut, Jony menilai bahwa penambahan subsidi BBM seyogyanya diikuti oleh kebijakan untuk mengelola kuota solar dan pertalite. Terlebih, pemerintah telah mengusulkan penambahan kuota solar menjadi 17,39 juta kiloliter (KL) dari 15 juta KL dan pertalite 28,5 juta KL dari proyeksi 23 juta KL.

“Kembali ke masyarakat, mau pakai barang subsidi atau tidak. Ini karena pemerintah tidak punya tools mengontrol subsidi tersebut digunakan oleh yang berhak atau pihak lain. Tapi apakah masyarakat kita sudah cukup dewasa menyikapi subsidi,” tandas Jony.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×