Reporter: Sandy Baskoro | Editor: Sandy Baskoro
JAKARTA. Menyusutnya keran impor sapi membawa berkah bagi peternak lokal. Harga sapi lokal kini mulai bersaing. Tapi di sisi lain, pemangkasan alokasi impor sapi membuyarkan estimasi bisnis para importir. Tekanan biaya produksi dan utang bank mulai menghantui importir.
Para peternak sapi lokal kini bisa tersenyum. Sejak pemerintah memangkas secara drastis alokasi impor sapi dan daging sapi, mulai tahun ini, harga sapi lokal semakin berbobot.
Dengan harga yang menjanjikan, para petani mulai bergairah beternak sapi. Teguh Boediyana, Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia, menyebutkan, harga sapi potong cenderung meningkat sejak 2010.
Sebelum 2010, ketika keran impor sapi terbuka lebar, pasar sapi lokal tertekan dan tak mampu bersaing dengan sapi impor. Sudah bisa ditebak, harga hewan milik para peternak domestik anjlok. Kala itu, harga daging sapi karkas berkisar Rp 48.000 per kilogram (kg).
Tapi kini, setelah pemerintah memangkas alokasi impor sapi, harganya terus meningkat. Puncaknya tahun ini, ketika harga daging sapi karkas bergerak di kisaran Rp 70.000 hingga Rp 72.000 per kilogram.
Jadi, harga sapi sudah melonjak 46% hingga 50% dibandingkan posisi sebelum 2010. "Kebijakan impor saat ini cukup positif bagi kami selaku peternak sapi," ungkap Teguh.
Kondisi sebaliknya dialami para pengimpor sapi. Joni Liano, Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo), mengemukakan, para importir mengalami kerugian sejak keran impor sapi terus menyusut, dan puncaknya terjadi tahun ini. "Saat ini kami bisa bertahan dan tidak bangkrut, sudah bagus," ungkap dia.
Dengan mengecilnya keran impor, anggota Apfindo harus berjibaku menekan biaya produksi. Mulanya, para pengimpor telah menyiapkan kapasitas kandang 10.000 ekor hingga 30.000 ekor sapi. Setelah alokasi impor menyusut, pengusaha hanya bisa menggemukkan 5.000 ekor sapi. "Sementara tenaga kerja tidak berkurang, tetap 10 orang," tutur Joni.
Bukan hanya biaya produksi yang terus membengkak, importir juga ketar-ketir apakah bisa memenuhi kewajiban lain mereka, misalnya utang perbankan. Untuk membangun fasilitas penggemukan sapi berkapasitas hingga 30.000 ekor tentu membutuhkan investasi besar. Utang bank adalah satu opsi yang tentu diambil para pengusaha. Dengan asumsi awal 30.000 ekor sapi, namun meleset, pengusaha berisiko tak mampu mengembalikan utang bank.
Kebijakan pemangkasan impor sapi juga berbuntut ke pelaku di tingkat hilir. Belum lama ini, para pedagang daging sapi yang tergabung dalam Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) se-Jabodetabek melakukan aksi mogok berjualan. Mereka menutup lapak selama empat hari berturut-turut, sejak 15 November hingga 18 November 2012.
Aksi serupa juga dilakukan para pedagang di beberapa daerah, seperti Palembang, Sumatra Barat dan Yogyakarta. Pedagang eceran tak mampu
menjangkau harga daging yang terus melambung. Untuk itu, APDI mendesak pemerintah secepatnya mengendalikan lonjakan harga daging di pasaran.
Pemerintah berkomitmen mendatangkan 22.000 ekor sapi untuk memenuhi permintaan di Jabodetabek. Dari jumlah itu, Apfindo siap melepas 17.000 ekor sapi dan sisanya 5.000 ekor berasal dari peternakan rakyat.
Harga sapi mulai menurun. "Harga sapi hidup sudah turun Rp 300 per kg, sementara daging karkas turun Rp 600 per kg dan di eceran bisa turun Rp 1.000 per kg," ujar Diana Dewi, Sekjen Asosiasi Pengusaha Pengolahan Daging Skala UKM dan Rumah Tangga Indonesia. (Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News