Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
"Menghadapi kondisi seperti ini APBI sedang mengkaji usulan-usulan yang akan disampaikan ke pemerintah terkait dengan pembayaran tarif royalti agar perusahaan bisa survive," kata Hendra.
Ia mengungkapkan, tekanan harga dan pasar rentan terhadap bisnis batubara saat ini. Pergerakan Harga Batubara Acuan (HBA) pada awal tahun ini memang anjlok cukup signifikan. Selama Kuartal I 2019, rerata HBA masih berada di level US$ 91,59 per ton, namun rerata HBA pada Kuartal I tahun ini melorot ke angka US$ 66,63 per ton.
Kendati begitu, kinerja operasional khususnya produksi batubara masih relatif stabil. Menurut Hendra, hingga saat ini belum ada anggota APBI yang melaporkan adanya penghentian operasional meski harga terus merosot.
Dalam proyeksi yang optimistis, pasar dan harga ditaksir bakal merangkak naik mulai Kuartal III dan berlanjut di Kuartal IV. Namun, proyeksi tersebut bisa saja meleset lantaran ada faktor eksternal, penanganan pandemi covid-19.
Baca Juga: Ini tanggapan pengamat pajak soal dukungan anggaran bagi industri yang belum jelas
"Seperti masih ada kekhawatiran akan gelombang serangan kedua virus corona di musim dingin Q4, dan sejauh mana negara-negara importir batubara menangani penyebaran virus di negaranya," kata Hendra.
Dengan level harga saat ini saja, Hendra menyatakan bahwa banyak perusahaan, khususnya yang memproduksi batubara kalori rendah dengan skala kecil merasakan dampak yang signifikan. Bahkan, ada yang menjual di bawah ongkos produksi sehingga mengganggu cashflow perusahaan.
Sementara dari sisi perusahaan berskala besar, sambung Hendra, para pemegang Perjanjian Kontrak Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) pun harus berupaya untuk survive dengan tarif royalti yang dikenakan sebesar 13,5%. "Jadi harus berjuang untuk bisa survive paling tidak menjaga agar PHK tidak dilakukan," tandas Hendra.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News