Reporter: Raka Mahesa W |
JAKARTA. Pengusaha kelapa sawit sepertinya tidak puas dengan keberadaan Rountable for Sustainable Palm Oil (RSPO). Makanya, mereka berniat boikot dan tidak akan mengikuti forum ini.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono mengakui, rencana boikot muncul dari sebagian anggota asosiasinya. Hanya saja, boikot ini dilakukan oleh perusahaan yang belum mengantongi sertifikat RSPO. Selama ini, sertifikat tersebut menjadi bukti bahwa pengelolaan perkebunan kelapa sawit mereka memenuhi kaidah ramah lingkungan.
Makanya, aksi ini belum mencerminkan sikap GAPKI secara keseluruhan. "Sikap asosiasi akan ditentukan dalam pertemuan November mendatang," kata Joko, Kamis (28/10). Sayangnya, ia tidak mau menyebut berapa dan siapa saja anggota GAPKI yang enggan mengurus sertifikat RSPO tersebut.
Maruli Gultom, pengamat kelapa sawit menyatakan, RSPO kini cenderung menjadi lembaga swadaya masyarakat ketimbang forum bersama perusahaan kelapa sawit. Menurut mantan Direktur Utama PT Astra Agro Lestari Tbk ini, RSPO kini lebih banyak berperan mencari keuntungan. Salah satu buktinya, mereka memperoleh pendapatan dari iuran anggota, pertemuan tahunan dan bisnis sertifikasi.
Namun, Vice President II RSPO, Derom Bangun menyangkal jika forum itu dituding cuma berorientasi keuntungan. Ia mengklaim, RSPO mendorong perusahaan kelapa sawit mengelola perkebunannya secara baik.
Derom menambahkan, RSPO menjadi acuan bagi pembeli produk kelapa sawit. Makanya, perusahaan yang berniat mendapatkan sertifikat RSPO terus bertambah. Saat ini, sudah 20% pengusaha kelapa sawit Indonesia yang mengantongi sertifikat RSPO. Sedang 80% lainnya belum mengantongi sertifikat RSPO.
Mereka yang telah memiliki sertifikat RSPO, antara lain PT Perkebunan Nusantara III, PT Socfindo, PT PP London Sumatra Indonesia Tbk, PT Tolan Tiga, Musim Mas Grup, PT BW Plantations Tbk, dan PT Hindoli, anak usaha Cargill Indonesia.
Setiap tahun, anggota RSPO membayar iuran maksimal € 2.000. Adapun pembuatan sertifikat RSPO menelan biaya antara US$ 5- US$ 15 per ton.
Tapi, Maruli tetap berpandangan bahwa sertifikat RSPO sesungguhnya tidak terlampau dibutuhkan. Alasannya, pesaing utama minyak kelapa sawit (SPO) yakni minyak nabati yang berasal dari kedelai tidak membutuhkan keterangan apapun. "Dengan adanya sertifikasi ini, persaingan CPO dan minyak kedelai menjadi tidak adil," tandas Maruli.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News