Reporter: Noverius Laoli | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Data pangan yang tidak akurat sudah lama disinyalir menjadi penyebab tidak ampuhnya kebijakan pangan yang berlaku di Indonesia. Rupanya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menemukan ketidakakuratan data pangan setelah melakukan audit di lapangan.
Dalam auditnya, BPK menemukan metode pengumpulan data pangan yang tidak kredibel di lapangan dan rawan dimanipulasi.
Anggota IV BPK Rizal Jalil menjelaskan, dalam hal laporan produktivitas pangan di lapangan terdapat kesalahan fatal. BPK menemukan, antara Badan Ketahanan Pangan Kemtan dan Badan Pusat Statistik memiliki data konsumsi beras yang berbeda.
BPS mengeluarkan data rata-rata konsumsi beras nasional sebesar 133 per kg per kapita per tahun. Sedangkan data BPS menunjukkan angka 114 kg per kapita per tahun. "Kemudian hasil survei BPS belum digunakan untuk menyusun prognosa ketersediaan dan kebutuhan pangan," ujar Rizal, Selasa (21/6).
Rizal menjelaskan, kesalahan juga terjadi dalam hal laporan produktivitas di lapangan. BPS dan Kemtan melakukan pengumpulan luas panen dan produktivitas pangan dengan mengandalkan dinas pertanian setempat.
Dalam hal luas panen, BPK menemukan, data luas panen itu dihitung oleh Kepala Cabang Dinas (KCD) di lapangan. Nah, BPK menemukan rekrutmen KCD ini dilakukan tanpa syarat kompetensi dan proses seleksi. KDC juga tidak pernah menerima pelatihan terkait cara menghitung luas panen bahkan dengan cara sebatas pandangan mata seperti yang selama ini dilakukan.
"Ini sudah menjadi suatu persoalan," tutur Rizal.
Selain itu, BPK menemukan KCD ini dibebani oleh target produksi padi. Artinya KCD ditargetkan harus menghasilkan produksi beras sekian ton dan diharuskan mengukur luas panen. Kondisi ini menimbulkan konflik kepentingan di lapangan.
Selain itu, dalam hal desain pengendalian aplikasi perhitungan data pangan, BPS juga dinilai tidak kredibel. Data-data pangan yang masuk melalui sistem online tidak diberikan kata sandi, artinya setiap orang bisa membuka dan mengubahnya kapan saja. Selain itu, tidak ada juga verifikasi pada setiap data yang diinput.
"Di sini berpotensi terjadi kesalahan pada data yang diinput," beber Rizal.
Akibatnya, BPK menemukan ketidakuratan data pangan dimana data luas lahan pangan yang dikeluarkan BPS berbeda dengan luas lahan sawah menurut data Badan Pangan Nasional (BPN). Selain karena tidak kredibelnya KCD dalam menyampaikan data pangan, BPK juga menemukan data luas lahan sawah tidak diubah meskipun tanah itu sudah mengalami alih fungsi di lapangan.
Untuk itu, BPK mendesak semua pihak agar menentukan suatu otorisasi singkronisasi data pangan dari pemerintah. Sinkronisasi data pangan ini sebenarnya bisa dilakukan di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News