kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45891,58   -16,96   -1.87%
  • EMAS1.358.000 -0,37%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Butuh Dana Rp 50 Triliun untuk Bangun Infrastruktur Cadangan Penyangga Energi


Kamis, 19 Oktober 2023 / 06:21 WIB
Butuh Dana Rp 50 Triliun untuk Bangun Infrastruktur Cadangan Penyangga Energi
ILUSTRASI. Pendanaan pembangunan infrastruktur cadangan penyangga energi mencapai Rp 50 triliun sampai 2030


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Indonesia butuh dana besar untuk membangun infrastruktur cadangan penyangga energi.

Dewan Energi Nasional (DEN) sedang menyiapkan dokumen Peraturan Presiden tentang Cadangan Penyangga Energi untuk mendukung keamanan dan ketahanan energi di Tanah Air. Melalui kajian yang sudah dilakukan, diproyeksikan pendanaan pembangunan infrastruktur cadangan penyangga energi mencapai Rp 50 triliun sampai 2030 mendatang. 

Anggota DEN Herman Darnel Ibrahim mengatakan, sejak lama perang antar negara berdampak pada kenaikan harga energi khususnya minyak meski terkadang belum tentu ada hubungannya secara langsung. 

“Tetapi namanya bisnis, begitu ada perang meski tidak secara langsung berdampak pada sumur berkurang tetapi harga minyak naik. Jadi ini reaksi yang berkaitan dengan bisnis,” ujarnya dalam konferensi pers acara Energy Transitions Conference & Exhibition dan Anugerah DEN 2023 di Jakarta, Rabu (18/10). 

Baca Juga: Khawatir Harga Minyak Makin Mendidih, Pemerintah Siapkan Cadangan Anggaran dan Energi

Sebagai salah satu solusi memitigasi dampak pasokan energi imbas geopolitik dunia, DEN dalam proses menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) Cadangan Penyangga Energi yang diharapkan dapat mendukung keamanan energi. 

“Jika harga terus naik, cadangan penyangga itu akan dilepas, itu solusinya,” terangnya. 

Sekretaris Jenderal DEN Djoko Siswanto menambahkan, saat ini dokumen cadangan penyangga energi sudah selesai pembahasannya. Tinggal nanti dokumen ini diparaf oleh Menteri Keuangan.

“Karena di situ ujung-ujungnya kan ada dana sekitar Rp 50 triliun untuk komoditinya. Sebetulnya Menteri Keuangan sudah pernah tiga tahun membiayai cadangan penyangga energi. Hanya masalahnya Perpesnya belum selesai. Nah nanti setelah Perpres selesai, maka bisa diajukan untuk penganggarannya mulai tahun depan,” terangnya dalam kesempatan yang sama. 

Djoko menyatakan, cadangan energi yang harus diamankan terbagi atas tiga komoditas yakni minyak mentah, bahan bakar minyak (BBM) dan gas. 

Hingga saat ini pasokan minyak mentah masih didominasi dari luar negeri. Sebagai gambaran, konsumsi minyak mencapai 1,4 juta barrel perhari, namun produksi minyak nasional baru mencapai 600.000 barrel perhari. Sedangkan, Indonesia harus mengamankan cadangan minyak sekitar 30 hari. 

“Kita harus punya cadangan, kalau nanti perang terus khawatir enggak ada yang mengirim crude ke sini,” Djoko. 

Selain minyak, komoditas lain yang juga harus dijaga penyangga cadangannya ialah LPG yang saat ini hampir 80% diimpor dari negara lain. 

Untuk mengoptimalkan penyangga cadangan energi dalam negeri, DEN mengusulkan untuk mengoptimalkan infrastruktur di dalam negeri seperti depot dan tangki. 

Baca Juga: Tak Impor Minyak Mentah Rusia, Pertamina Jajaki Peluang dari Berbagai Negara

Sebagai gambaran, Indonesia bisa memanfaatkan tangki-tangki migas yang kapasitasnya masih ada, kemudian menyewa tangki milik swasta maupun BUMN. Kemudian diperlukan pembangunan tangki di lokasi titik impor supaya transportasinya tidak terlalu jauh sehingga biaya bisa ditekan. 

“Sampai dengan 2030 nanti yang diperlukan ialah pembangunan depotnya maupun sewanya kira-kira Rp 50 triliunan anggarannya karena itulah Kementerian Keuangan meminta roadmap-nya dan kajiannya sebelum membubuhkan paraf pada Perpres tersebut,” imbuh Djoko.

Adapun lokasi yang harus dibidik ialah di Indonesia Timur yang infrastrukturnya terbatas. 

“Jadi kita harus punya cadangan energi yang cukup besar di Indonesia Timur, supaya harga di sana juga enggak terlalu mahal, kayak di Papua. Kemudian juga harus dipilih lokasinya yang tidak sering terjadi banjir, pasang surut, atau rawan gempa. Itu masalah teknis lah,” kata Djoko.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×