Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) berisiko tak banyak menarik minat investor karena biaya teknologi yang tinggi serta kompleksitas pengelolaan sampah di Indonesia.
Direktur Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan, biaya pembangunan PLTSa bisa mencapai US$ 5 juta–US$ 13 juta per megawatt, tergantung lokasi dan faktor tambahan lainnya. Angka ini jauh lebih mahal dibandingkan teknologi energi terbarukan lain seperti panel surya atau mikrohidro.
“Belum lagi, tidak semua sampah bisa diolah menjadi energi. Harus ada pemilahan sejak dari rumah tangga. Kalau sampah bercampur dengan limbah berbahaya, justru biaya pengelolaan jadi lebih mahal. Biaya terbesar ada di proses pemilahan dan tipping fee, yaitu biaya pemungutan sampah dari rumah tangga sampai ke pembangkit,” ujar Bhima kepada Kontan, Kamis (4/9/2025).
Selain biaya tinggi, isu lingkungan juga masih menjadi perhatian. Pasalnya, PLTSa menggunakan proses pembakaran yang justru berpotensi menimbulkan polusi udara.
Dus dari sisi keekonomian maupun lingkungan, Bhima menilai proyek ini masih banyak mendapat sentimen negatif dari investor.
Baca Juga: Ini Sejumlah Tantangan dalam Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
Apalagi, PLTSa juga terkendala kepastian harga listrik. Selama ini, pembelian listrik oleh PLN dari PLTSa dikategorikan sebagai Independent Power Producer (IPP), sementara harga jual listriknya bisa lebih mahal dibandingkan sumber energi lain.
“PLN cenderung memilih pembangkit terbarukan lainnya. Beban subsidi ke PLN jadi makin berat jika dipaksa membeli listrik mahal dari sampah,” jelas Bhima.
Pun dari segi investor, lebih tertarik masuk ke energi terbarukan lain. Ia mencontohkan investor dari Timur Tengah dan China sekarang lebih banyak masuk ke PLTS terapung dan proyek hidro. Dengan variabel yang lebih kompleks, PLTSa jarang jadi prioritas karena return-nya sulit dikalkulasikan.
Jika dibandingkan dengan situasi di Eropa, PLTSa berkembang lebih pesat karena pemilahan sampah sudah dilakukan sejak rumah tangga dengan sanksi ketat bagi yang melanggar. Masalahnya, pengelolaan hulu sampah di Indonesia menurut Bhima masih kacau.
“Pemilahan belum jalan, sehingga tipping fee membengkak. Itu yang membuat biaya PLTSa lebih tinggi dibandingkan negara lain,” kata Bhima.
Dengan kondisi ini, ia menilai sulit bagi PLTSa untuk bersaing dengan pembangkit berbasis batubara maupun energi terbarukan lain yang lebih efisien.
“Internal rate of return (IRR) atau tingkat pengembalian investasi PLTSa sulit dicapai. Variabelnya terlalu banyak, biaya pemilihannya mahal, dan daya tariknya bagi investor jauh lebih rendah dibanding EBT lain,” pungkas Bhima.
Selanjutnya: Simak Prospek dan Rekomendasi SRTG yang Jual 211,20 Juta Saham MDKA
Menarik Dibaca: Promo JSM Superindo Periode 5-7 September 2025, Aice Box-Mama Lemon Diskon hingga 50%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News