Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perindustrian mengemukakan saat ini dari 34 perusahaan smelter nikel di Indonesia yang beroperasi, baru 4 perusahaan yang masuk ke hilirisasi nikel khususnya untuk bahan baku baterai kendaraan listrik.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE), Taufik Bawazier menjelaskan, melihat data tersebut Indonesia perlu pengembangan hilirisasi nikel lagi ke depannya.
“Kita perlu membalikkan situasi dengan masuk ke industri yang lebih hilir dan perlu dukungan komisi VII DPR RI karena memerlukan investasi yang besar,” jelasnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI, Kamis (8/6).
Baca Juga: Pemerintah Mulai Pembahasan Pembatasan Smelter Kadar Rendah
Taufik menjelaskan lebih lanjut, industri nikel pirometalurgi yang sudah beroperasi di Indonesia saat ini sebanyak 34 smelter, kemudian dalam proses konstruksi 17 smelter. Adapun fasilitas pengolahan yang masih dalam proses studi kelayakan atau feasibility study (FS) sebanyak 6 smelter yang tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Banten, dan rencananya di Kalimantan Selatan.
“Ini tentunya konsentrasi di Sulawesi dan Maluku banyak mineral nikel dan turunanya yang bisa dieksploitasi dalam konteks untuk kemakmuran nasional,” ujarnya.
Sedangkan untuk smelter nikel hidrometalurgi atau smelter pendekatan High Pressure Acid Leaching (HPAL), ada 4 perusahaan yang sudah beroperasi yakni PT Huayue Nickel Cobalt, PT QMB New Energy Material, dan PT Halmahera Persada Lygend.
Sedangkan smelter nikel milik PT Kolaka Nickel Indonesia sedang dala proses feasibility studies.
Taufik menjelaskan lebih lanjut, untuk Industri Nikel berbasis hidrometalurgi sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik (EV) baru mencapai produksi MHP dengan kapasitas produksi 915.000 ton per tahun.
“Ini bisa dimanfaatkan paling tidak setelah pabrik baterai kita cukup kuat, kita bisa supply bahan baku nasional ke dalam eksosistem EV di dalam negeri,” ujarnya.
Berdasarkan hitungan Kementerian Perindustrian, kebutuhan nikel untuk baterai kendaraan listrik di 2025 dibutuhkan 25.133 ton, kemudian di 2030 sebesar 37.699 ton, dan di 2035 sebanyak 59.506 ton.
Perhitungan ini berdasarkan aturan praktis atau rule of thumb, daya baterai yang dibutuhkan untuk kendaraan listrik roda dua sekitar 1,44 KWh dan kendaraan listrik roda empat 60 KWh. Adapun masing-masing KwH dibutuhkan nikel sekitar 0,7 kg, Mangan 0,096 kg, dan Kobalt 0,096 kg.
Baca Juga: Ini Rencana Pengembangan Bisnis Amman Mineral Internasional (AMMN) Setelah IPO
“Semua bahan baku ada di Indonesia sekitar 93%, di mana 7% lithium perlu impor. Jadi di sini kita perlu membalikkan situasi harus bangun di dalam negeri penguatan kemampuan dalam negeri karena punya bahan baku itu semua,” tegasnya.
Lebih lanjut Taufik menjelaskan, ekspor nikel di Indonesia masih didominasi oleh feronikel sebanyak 5,7 juta ton dengan nilai US$ 13 miliar pada 2022. Adapun ekspor produk hilir misalnya stainless steel HRC sebesar US$ 4 miliar.
“Artinya ekspor nikel dari Indonesia didominaasi oleh produk yang belum sampai ke tingkat yang lebih hilir,” terangnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News