kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dari garasi menjadi ratu media wanita


Kamis, 04 April 2013 / 16:12 WIB
ILUSTRASI. Daftar 34 kampus terbaik di Indonesia versi QS AUR 2022, UI nomor 1. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/hp.


Sumber: Kontan 30/3/2013 | Editor: Havid Vebri

Berpotongan rambut pendek, berbusana kasual serta kacamata yang jarang lepas dari kedua matanya menjadi ciri khas sehari-hari sosok Svida Alisjahbana, bos Femina. Sebagai bos media, Svida memang tergolong sosok yang aktif. Seperti saat KONTAN menyambanginya pekan lalu, ia sibuk dengan aktivitas kantornya.

Ia tetap energik meski telah beraktivitas lebih dari separuh hari. Saat waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB, ia juga belum beranjak dari kegiatannya. “Setelah ini, saya masih ada janji dinner dengan rekanan, lo,” ujar Svida ramah. Svida adalah generasi kedua keluarga Alisjahbana yang memegang tampuk kepemimpinan Femina Group. Sejak tahun 2007, ia menjabat Chief Excecutive Officer (CEO) Femina Group.

Femina Group merupakan bisnis keluarga Alisjahbana. Awalnya yang merintis usaha ini adalah tante Svida, Mirta Kartohadiprodjo. Mirta merupakan anak keempat dari sastrawan Sutan Takdir Alisjahbana. “Femina pertama kali dimulai oleh Ibu Mirta Kartohadiprodjo bersama dua sahabatnya, Ibu Widarti Gunawan dan Ibu Atika Makarim,” tutur Svida.

Svida mengaku, sejak kecil sudah akrab dengan usaha yang dirintis oleh tantenya itu. Soalnya, Femina diterbitkan pertama kali di garasi rumah sang ayah, Sofyan Alisjahbana di Jakarta. Edisi pertama majalah Femina terbit pada tahun 1972. Sejak awal terbit, Mirta memang menggandeng sang kakak, Sofyan yang merupakan anak ketiga dari Sutan Takdir.

Mirta sendiri mendapat ide menerbitkan majalah guna melengkapi usaha percetakan “Pustaka Rakyat” yang dimiliki sang kakek, yang saat itu dikelola Sofyan. Saat pertama kali merintis usaha, Mirta, Atika dan Widarti masih duduk di bangku kuliah sebagai mahasiswa sastra Universitas Indonesia.

Mereka melihat di Indonesia tak ada majalah khusus wanita. Padahal, di negara-negara lain, seperti Belanda, Prancis, dan Inggris, sudah banyak majalah wanita yang beredar. “Yang ada di Indonesia saat itu hanya majalah keluarga yang diterbitkan oleh para pria,” tutur Svida mengenang.

Kendati majalah keluarga, majalah tersebut juga tidak memiliki target pasar yang jelas. Dari situ, tiga sekondan ini melihat peluang bisnis dengan menerbitkan majalah khusus wanita. Sejak pertama kali terbit, Femina menampilkan sosok wanita dari berbagai sudut, mulai dari perannya dalam rumah tangga, keluarga, ilmu pengetahuan, hingga karir dan bisnis.

Mirta menjadi Pemimpin Redaksi pertama Femina, sementara Sofyan menjabat Presiden Direktur. Setahun setelah Femina terbit, tepatnya tahun 1973, terbit majalah Gadis yang masih satu kelompok usaha dengan Femina. Majalah ini dicetuskan oleh Pia Alisjahbana, istri Sofyan Alisjahbana. Pia kala itu sudah mulai mengajar di Jurusan Sastra Inggris Universtas Indonesia.

“Yang ibu saya lihat ketika mahasiswa, perempuan Indonesia kurang berani berekspresi. Nah, mereka pun melihat di Indonesia tidak ada majalah yang seru untuk remaja Indonesia,” jelas Svida.  

Sejak awal, majalah Gadis ini langsung dipimpin oleh Pia. Dan, saat itu pula Femina Group berdiri. Ekspansi Femina Group di bidang media terus berlanjut. Pada tahun 1976, Mirta Kartohadiprodjo melahirkan anak pertama. “Lalu apa yang dirasakan ibu Mirta? Tidak ada majalah untuk orang tua. Disitulah terbit Ayah Bunda,” jelas Svida.

Kala itu, majalah seperti ini belum banyak dan sangat spesifik. Maka, mereka pun berinisiatif mengambil lisensi dari majalah Eltern Jerman. Di Indonesia, Femina Group adalah perusahaan yang pertama kali mengambil lisensi dari luar negeri.

Setelah itu, masih banyak  majalah baru lainnya yang diterbitkan oleh Femina Group ketika melihat kebutuhan pasar. Hingga kini, total ada 18 majalah di bawah naungan Femina Group. Di antaranya ada majalah Dewi, CitaCinta, Grazia, Cleo, Pesona, Estetica, dan Reader’s Digest.

Selain media cetak, Femina Group juga merambah industri penyiaran dan percetakan. Menurut Svida, Femina Group bisa berkembang karena dikelola dengan penuh integritas. "Ada banyak nilai-nilai yang selalu ditanamkan para pendiri Femina Group," ujarnya.

Di antaranya bisnis media untuk masyarakat Indonesia yang lebih baik. Berbagai kebijakan yang diambil tetap mengacu pada visi misi tersebut. Sebagai contoh, dari awal berdiri hingga saat ini, Femina menyadari dan meyakini rokok buruk untuk kesehatan. Maka, sejak tahun 1972, seluruh media dalam Femina Group tidak menerima iklan rokok.

Bahkan, sebagai media partner pun, Femina akan mundur bila sponsornya perusahaan rokok. Ia mengaku, semangat itu tetap dipelihara tim Femina Group sampai saat ini. Svida mengaku, tidak pernah disiapkan orang tuanya melanjutkan kepemimpinan di Femina Group. "Saya disiapkan menjadi seseorang dengan minat dan wawasan yang luas," ujarnya.

Svida sendiri tidak terlalu berbakat di bidang tulis menulis. Makanya, saat kuliah, ia memilih mengambil jurusan matematika dan ekonomi di University of Michigan, Amerika Serikat. Ia lulus kuliah pada tahun 1988. Lalu, ia melanjutkan studi di Columbia University, New York dan mendapat gelar MBA. Setelah itu, Svida masih sempat bekerja di Connecticut selama empat tahun.

"Saya bekerja di GE Capital dengan posisi terakhir corporate finance manager," katanya. Awal karir Svida di Femina Group dimulai sekitar awal tahun 2001. Saat itu, ibu dari dua putra ini baru kembali dari New York, Amerika Serikat.

Begitu masuk Femina Group, Svida langsung membenahi berbagai infrastruktur penunjang bisnis, seperti sistem finansial dan pembukuan. Baru tahun 2007, ia dipercaya memegang tampuk kepemimpinan di Femina Group.

Sejak itu, ia fokus memikirkan pengembangan Femina Group. “Kami menyadari bahwa pembaca berubah dan bergeser,” tutur Svida.
Saat ini, menurutnya, pembaca mengakses media melalui berbagai platform. Sejak tahun 2000, internet berkembang dan sosial media menjadi tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.

“Platform tersebut memungkinkan seorang chief editor tidak melulu monolog dengan pembacanya, tetapi menjadi dialog. Ketika terjadi dialog, muncullah komunitas-komunitas tertentu,” terang Svida.

Membangun komunitas

Ia menyadari untuk tetap akrab dengan pembacanya, dibutuhkan satu komunitas yang menjadi wadah dialog akan kebutuhan pembaca.
“Kami harus menganalisa, apakah aspirasi mereka sejalan dengan kami? Bagaimana memperdalam aspirasi mereka agar mereka menjadi manusia yang lebih baik,” jelas Svida.

Nah, untuk menjawab semua kebutuhan itu, Svida memutuskan membentuk semacam komunitas pembaca Femina Group. Sejak tiga tahun terakhir, peran CEO di Femina Group diganti menjadi CCO atau Chief Community Officer. Seluruh manager pun bertugas menjadi pemimpin komunitas.

"Ini adalah bagian dari perubahan yang terjadi di Femina Group. Kami juga bukan lagi perusahaan media, melainkan community powerhouse," ujar Svida. Artinya, setiap brand dalam Femina Group, menjawab kebutuhan komunitas-komunitas mereka berbasis multi platform, seperti website, social media, majalah, maupun event.

Femina juga mulai mengembangkan dan melayani komunitas-komunitas yang dibentuknya. Di media terbitannya, misalnya, Femina Group membuat beberapa rubrik yang memang banyak peminatnya. Femina juga kerap membuat kegiatan bersama dengan pembaca. Misalnya mengadakan event, seperti lomba dan sebagainya.

“Saat ini telah ada lima juta orang yang tergabung dalam komunitas dari seluruh anak usaha Femina Group,” tutur Svida. Dalam satu tahun, Femina bisa mengadakan lebih dari 200 event yang terkait dengan komunitas dan anak usahanya. Memang upaya ini tidaklah mudah dan berjalan mulus.

Pada masa awal transformasi tersebut sempat terjadi kerontokan staf. “Karena ada juga staf yang mengatakan, bagimana sih, kami kan bekerja di sini untuk percetakan, untuk menulis di majalah,” ujar Svida. Namun, semakin lama, banyak pula yang mengerti bahwa ini telah menjadi kebutuhan dari berkembangnya suatu media.

Ia mencontohkan, di majalah Men’s Health, ada komunitas yang antusias pada olah raga, seperti komunitas Bike to Work. Namun, ada pula komunitas well groomed bagi pria yang tertarik dengan masalah penampilan, seperti potongan rambut, sepatu, dan jas model baru

Di Femina sendiri, Svida dengan CCO Femina Petty Fatimah mempelopori dibentuknya komunitas wanita wirausaha yang akhirnya mencetuskan program Wanita Wirausaha Femina. Komunitas ini telah memiliki 60.000 anggota.

Svida juga tetap mempertajam lini fesyen yang menjadi kekuatan Femina dan telah dimulai oleh Mirta maupun Pia Alisjahbana. Salah satunya dengan tetap mempertahankan Lomba Perancang Mode yang sudah dirintis sejak zaman ibunya.

Femina sendiri sudah memiliki jaringan dengan ratusan perancang mode di seluruh Indonesia. Lomba Perancang Mode ini juga yang menjadi cikal bakal lahirnya Jakarta Fashion Week, salah satu acara peragaan busana terkenal di Indonesia. Di tengah aktivitasnya membangun Femina Group, Svida pun memperoleh kesempatan mengembangkan diri.

Pada 2010, ia terpilih sebagai Asian Fellowship dalam acara Women’s Leadership Program yang diselenggarakan Eisenhower Fellowship.
Ia pun berkesempatan mengikuti kegiatan ini selama dua bulan di Amerika dan menimba ilmu di sana.

Dari situ, ia melihat ada tiga hal penting untuk memajukan Femina Group. “Pertama adalah mengenai media konvergensi, kedua pengembangan wirausaha Indonesia, dan ketiga memajukan fesyen industri Indonesia,” ujar Svida.

Ke depan, Femina Group akan terus mengembangkan komunitasnya dan menjadi partner bisnis bagi perusahaan yang ingin memperkenalkan sekaligus memasarkan produknya. Ia berharap, Femina Group tetap menjadi media wanita nomor wahid di Indonesia.                 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Berita Terkait



TERBARU

[X]
×