Reporter: Rika Theo |
JAKARTA. Film dokumenter Di Balik Frekuensi besutan sutradara Ucu Agustin menayangkan sebagian kegelisahan di dunia media setelah 14 tahun reformasi berjalan. Melalui dua kisah nyata, penonton akan dibawa menyaksikan bagaimana frekuensi publik di televisi Indonesia digunakan untuk kepentingan politik.
Ini merupakan film dokumenter panjang pertama yang berbicara tentang media, terutama televisi yang menggunakan frekuensi publik. "Isu besarnya adalah penyalahgunaan frekuensi publik," ujar Ucu dalam penayangan perdana Di Balik Frekuensi di Blitz Megaplex Grand Indonesia, semalam (24/1).
Penyalahgunaan itu tergambar dalam dua kisah berbeda. Kisah pertama menceritakan perjuangan Luviana, jurnalis Metro TV yang terkena PHK sepihak, agar bisa kembali bekerja. Dikisahkan bagaimana Luviana menempuh berbagai upaya mulai dari aksi protes hingga berunding langsung dengan pemilik Metro TV Surya Paloh sejak awal tahun 2012. Namun, Luviana yang sudah tak menerima gaji sejak Juni 2012 ini belakangan malah mendapat surat PHK resmi dari Metro TV. Hingga kini, kasus Luviana masih belum ada penyelesaiannya.
Kisah kedua adalah kisah korban lumpur Lapindo yakni Hari Suwandi dan Harto Wiyono yang berjalan kaki selama 25 hari dari Porong, Siduarjo, ke Jakarta. Akan tetapi, aksi protes yang di awal tampak sangat menggebu-gebu ini berakhir dengan tayangan wawancara langsung Hari Suwandi yang menangis meminta maaf kepada Aburizal Bakrie di TvOne.
Di Balik Frekuensi mengupas bagaimana televisi berita membingkai kedua kisah itu. Lebih jauh lagi, film ini menggugat bagaimana televisi berita digunakan demi kepentingan pemiliknya, seperti maraknya iklan kampanye partai politik.
Film ini mengingatkan lagi, bahwa sejak reformasi bergulir di tahun 1998, media semakin bebas dan tumbuh subur. Namun, dari begitu banyaknya media yang hadir sekarang, ternyata kepemilikannya tak lebih mengerucut pada 12 group. Mereka adalah MNC Group, Kompas Gramedia Group, Elang Mahkota Teknologi, Visi Media Asia, Jawa Pos Group, Mahaka Media, CT Group, Beritasatu Media Holdings, Media Group, MRA Media, Femina Group, dan Tempo Inti Media.
Tak heran jika film yang diproduseri oleh Ursula Tumiwa ini mengambil dua tagline sebagai otokritik bagi media. Dengan tagline "Hentikan Monopoli, Kembalikan Frekuensi!" dan "Media Mengabdi Publik, Bukan Menghamba pada Pemilik," Di Balik Frekuensi ingin mengajak para pekerja media, pelaku bisnis di industri media juga pemangku kepentingan di bidang media untuk mengembalikan media pada fitrahnya yakni kembali pada kepentingan warga.
"Film dokumenter ini tidak membosankan dan menggambarkan kisah besar yang dihadapi media. Ini hanya dua kisah yang menunjukkan sistem media kita yang dikuasai oleh politisi dengan kepentingan masing-masing," kata pengamat media dan Direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan Ignatius Haryanto.
Dari media untuk media
Di Balik Frekuensi adalah proyek film dokumenter dari Cipta Media Bersama. Proyek Cipta Media Bersama merupakan kolaborasi dari organisasi nonprofit Wikimedia, ICT Watch!, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dengan dukungan Ford Foundation.
Film ini mulai diproduksi pada 15 Desember 2011 sampai pada 25 November 2012. Pengambilan gambar di berbagai kota menghasilkan 330 jam stok gambar yang akhirnya dipangkas menjadi tayangan berdurasi 2 jam 20 menit.
Luviana, jurnalis yang kisahnya diungkap dalam film ini, mengatakan bahwa film ini menjadi langkah awal untuk perjuangan selanjutnya. "Saya masih akan tetap menuntut untuk bekerja di Metro TV. Buat saya, ini film perjuangan dan ini akan menjadi alat advokasi yang baik untuk jurnalis."
Bagi sang sutradara, Ucu Agustin sendiri, film ini berawal dari satu pertanyaan, ada apa dengan tv berita kita? Ironis bahwa televisi bersiaran dengan frekuensi publik, namun digunakan sebagai kanal kepentingan pemilik.
"Pers dulu dibungkam, pers sekarang dibeli. Benarkah itu yang tengah terjadi di dunia media kita di era konglomerasi media pasca reformasi 14 tahun silam?" tulis Ucu dalam catatannya tentang film ini.
Di Balik Frekuensi akan menggelar roadshow ke lima kota yaitu Jakarta, Bandung, Jogja, Malang, Solo. Film ini rencananya juga akan diputar di layar tancap di Porong, Siduharjo. "Tujuan utamanya adalah kampus, AJI kota, dan komunitas-komunitas," kata Ursula.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News