Sumber: Antara | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menyatakan, pemerintah perlu membatasi impor garam karena potensi komoditas tersebut sangat besar.
Wakil Ketua Farouk Muhammad dalam pernyataan yang disampaikan Humas DPD RI di Jakarta, Sabtu (10/12), terkait diskusi "Meningkatkan Produksi Garam Nasional dan Menyelamatkan Nasib Petani Garam Rakyat" di Nusantara III Kompel Parlemen, Jakarta, pekan lalu.
Pertemuan tersebut dihadiri oleh pejabat dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Kadis Kelautan dan Perikanan Nusa Tenggara Barat (NTB), PT Garam dan Persatuan Petambak Garam Indonesia.
"Pada kali ini kita hanya fokus pada garam. Bukan mekanisme pengawasan, ini hanya penyaluran aspirasi. Jadi kita menjembatani aspirasi yang diakomodir melalui rakyat," ujar Farouk.
Ia mengemukakan, Indonesia saat ini masih mengandalkan impor garam untuk memenuhi kebutuhan nasional. Pada tahun ini, kebutuhan garam nasional mencapai 4,3 juta ton, sedangkan produksi Indonesia hanya mampu menghasilkan 3,2 juta ton.
Karena itu, Indonesia membutuhkan 1,2 juta ton garam impor. "Jika impor ini diberikan kelonggaran atau tidak ada batasan maka akan merugikan petani. Walaupun tingkat kebutuhannya akan banyak," kata senator dari Nusa Tenggara Barat (NTB) ini.
Menurut Farouk, kualitas garam impor lebih baik ketimbang garam rakyat. Garam rakyat kualitasnya kurang atau kandungan NaCl masih di bawah 94,7%.
Di sisi lain, masih banyak 20% rumah tangga yang kurang mengonsumsi garam beryodium. "Ini yang perlu di atasi," kata mantan Gubernur PTIK ini.
Farouk menambahkan, dari segi kesehatan ada dampaknya. Bahkan dari segi kebutuhan ada kekurangan.
"Padahal kita ini negara nomor dua garis pantai terpanjang di dunia. Sayangnya produksi garam kita masih rendah. Maka harus ada peningkatan produktivitas," katanya.
Selain itu, aspek petani garam masih di atas level penganguran. Farouk menilai bahwa hal itu terjadi secara turun-menurun.
Padahal, ada 100.000 petani garam di Indonesia. "Ini yang menjadi atensi kita, padahal kebutuhan garam itu dari orang hidup sampai meninggal dibutuhkan," kata Farouk.
Farouk menilai, pemerintah belum menempatkan garam sebagai salah satu bahan pokok. ehingga masih kurang perhatian, namun jelas UU-nya sudah ada," katanya.
Untuk itu pemerintah harus memberikan perlindungan kepada petani garam Indonesia.
Di sisi lain, pemerintah juga telah mewacanakan swasembada pangan pada 2017.
Kenyataanya, swasembada pangan itu tidak gampang karena membutuhkan 1-2 tahun ke depan. Karena selain meningkatkan kualitasnya, harus ditambah juga kuantitasnya.
"Untuk swasembada pangan, kita sudah menyepakati untuk menyurati Presiden Joko Widodo terkait apa yang kita hasilkan pada pertemuan ini. Maka dalam waktu 1-2 bulan kedepan kita akan memonitor," kata Farouk.
Terkait kartel, DPD telah mendapatkan laporan bahwa ada sembilan perusahaan yang menguasai garam. Namun dengan adanya Permendag Nomor 125 Tahun 2015 itu sudah bisa di atasi.
"Tapi kenyataanya belum optimal, masih menimbulkan dampak lain. Maka dengan menghapuskan Harga Pokok Pembelian (HPP) oleh pemerintah maka terjadi liberalisasi. Ini akan merugikan petambak garam," kata Farouk.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News