kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Efek rupiah, kontraktor revisi nilai proyek


Jumat, 19 Desember 2014 / 10:50 WIB
Efek rupiah, kontraktor revisi nilai proyek
ILUSTRASI. Cita Mineral Investindo (CITA) tebar dividen Rp 39,60 miliar, Simak jadwalnyaANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.


Reporter: RR Putri Werdiningsih | Editor: Markus Sumartomjon

JAKARTA. Efek pelemahan rupiah berimbas ke sektor konstruksi. Sejumlah kontraktor terpaksa mengeluarkan dana ekstra lantaran ada yang memakai produk impor. 

Malah ada yang mempertimbangkan untuk menyesuaikan nilai kontrak yang sudah di tangan. "Untuk kontrak yang dimungkinan penyesuaian harga tentu akan kami lakukan dengan persetujuan pemilik proyek dan melihat perjanjian awal," kata Mahmilan Sugiyo Warsana, Sekretaris Perusahaan PT Total Bangun Persada Tbk (TOTL) ke KONTAN, Kamis (18/12).

Tanpa menyebut kontrak yang dimaksud, TOTL sudah mulai menimang menyesuaikan nilai kontrak. Namun langkah ini baru akan Total lakukan awal tahun depan. Soalnya, Mahmilan menilai pelemahan rupiah masih dianggap peristiwa sementara yang belum perlu tindakan khusus.

Adapun soal belanja barang dalam bentuk dollar Amerika  Serikat (AS), Total mengklaim masih bisa diatasi lantaran masih punya kas yang cukup untuk menutup kewajiban ke pemasok dan sub kontraktor. Sejauh ini, Total banyak membeli peralatan mekanikal dan elektrikal dari luar negeri.

Adapun menurut Adji Firmantoro, Direktur Keuangan PT Wijaya Karya Tbk  (WIKA), pihaknya masih belum merevisi nilai kontrak lantaran ingin memaksimalkan langkah antisipasi terlebih dahulu. "Jadi bukan koreksi tapi masih akan mencari pemecahannya seperti apa," ujarnya.

Menurutnya kebutuhan komponen konstruksi dalam bentuk dollar tidak terlalu besar. Ia mencontohkan beton. Meski pembayaran dalam rupiah, tetapi komponen pembuatan beton masih impor. 

Beban dollar AS yang lebih besar justru dari utang perusahaan. Salah satu utang dollar AS adalah saat membeli peralatan proyek pembangkit listrik tenaga diesel di Bali.  WIKA mendapat pinjaman  US$ 26,09 juta dari IKB Deutsche Industrie Bank. "Kami punya utang dollar memang besar tapi cadangan dollar kami juga besar sekitar US$ 7 juta, jadi surpluslah," klaim Adji.

Selain dari dana cadangan, WIKA mengandalkan sejumlah kontrak yang pembayarannya dollar AS, seperti proyek minyak dan gas (migas). Seperti beberapa proyek kontruksi terpadu atau engineering, procurement, and construction (EPC), yakni PLTG Borang (Palembang) dari PLN senilai Rp 815,66 miliar, EPCC kondensat dari PT Berau senilai Rp 382,33 miliar dan gas fire power plant 188 megawatt (MW) dari PLN senilai Rp 321,5 miliar.

Tak pengaruh

Perusahaan yang memastikan tidak akan menyesuaikan nilai kontrak adalah PT Waskita Karya Tbk (WSKT).  Perusahaan plat merah ini mengklaim pihaknya masih mengantongi cadangan dana dollar AS yang  cukup besar untuk menutup kebutuhan. 

Dana tersebut berasal dari uang muka proyek pembangunan landasan bandara di Timor Leste yang bernilai Rp 700 miliar. "Karena persoalan izin, kontrak ini baru bisa kami kerjakan tahun depan. Tapi uang mukanya sudah dibayarkan," tandas Anton Y Nugroho, Sekretaris Perusahaan Waskita Karya.

Waskita sendiri tidak gentar menghadapi kontrak anyar tahun depan. Menurutnya, pihaknya bakal fokus di proyek jalan tol dan bendungan yang diklaim tidak banyak membutuhkan komponen konstruksi yang harus dibayar dalam dollar AS.

Sejauh ini belanja dollar AS hanya dilakukan untuk membeli peralatan proyek EPC, seperti turbin dan power plant. Beruntung, seluruh keperluan untuk proyek EPC sudah Waskita bereskan di pertengahan tahun ini, sehingga saat ini pihaknya tinggal menunggu kedatangan peralatan proyek tersebut. "Proyek EPC kami juga tidak banyak," timpalnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×