kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Ekonom : Grab lebih butuh merger daripada Gojek


Selasa, 22 September 2020 / 10:43 WIB
Ekonom : Grab lebih butuh merger daripada Gojek
ILUSTRASI. Jika merger antara GoJek dan Grab terwujud, maka akan terjadi konsolidasi di bisnis ride sharing di Asia Tenggara. KONTAN/Fransiskus Simbolon/28/03/2019


Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kabar merger antara dua startup berlabel Decacorn yaitu Gojek dan Grab mendapat beragam komentar dari para ekonom. 

Ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai, jika merger itu terjadi maka akan terjadi konsolidasi di bisnis ride sharing di Asia Tenggara. Namun dengan kondisi Gojek yang memiliki brand dan pasar lebih kuat di Indonesia sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara, merger itu dinilai akan lebih dibutuhkan oleh Grab. 

Dengan berbagai tekanan yang dihadapi aksi ini dinilai akan lebih menguntungkan perusahaan berbasis di Singapura tersebut. "Secara bisnis market share Gojek lebih kuat dan memiliki brand image yang lebih positif  di Indonesia.

Sementara Grab lebih unggul di luar negeri. Tapi untuk Asia Tenggara, Indonesia adalah kunci karena pasar terbesar, jadi posisi tawar Gojek lebih kuat," jelas Bhima di Jakarta, Minggu (20/9).

Isu merger Gojek dan Grab muncul sejalan dengan memburuknya bisnis SoftBank sebagai penopang utama pendanaan Grab. Sejumlah investasi SoftBank diketahui mengalami kerugian besar.

Bahkan, sebelum pandemi Covid-19, pada tahun fiskal 2019 Vision Fund, anak usahanya yang 40% investasinya di ride sharing, harus melakukan hapusbuku senilai US$ 17,7 miliar akibat kegagalan IPO WeWork dan juga Uber Technologies Inc.

Investasi Vision Fund di aset ride-sharing tersebar di seluruh dunia. Contohnya sebesar US$  7,7 miliar di Uber, US$ 11,8 miliar ke Didi China, US$ 3 miliar ke Grab Singapura. Nilai investasi  Vision Fund di sektor bisnis transportasi dan logistik ditaksir mencapai US$ 33 miliar.

"Akibat Pandemi bisnis transportasi online masih akan slowdown sampai tahun 2021. Bisnis pengantaran makanan juga belum bisa menutup kerugian akibat penurunan bisnis transportasi. Inilah yang harus dicari solusinya oleh pelaku bisnis seperti Gojek dan Grab," imbuh Bima.

Sementara itu ditengah upayanya menahan kerugian besar, Softbank diketahui telah melepas sejumlah aset investasinya di berbagai negara. Terbaru, perusahaan investasi asal Jepang itu menjual sahamnya di ARM, perusahaan chip asal Inggris senilai USD 40 miliar. 

Perubahan strategi bisnis

SoftBank juga tengah dalam proses penjualan saham di perusahaan telekomunikasi asal Jerman T-Mobile senilai US$ 21 miliar. Sementara ssebagai pemegang 60% saham Grab, Softbank juga harus menghadapi potensi bay out Uber senilai US$ 2 miliar jika akhirnya Grab gagal IPO di 2023.

Dimasa pandemi COVID-19 Gojek terlihat lebih cepat melakukan perubahan strategi bisnis. Hal inilah yang membuat Gojek terlihat lebih siap dalam menghadapi penurunan bisnis transportasi akibat kebijakan PSBB. Orang Indonesia semakin mengenal Gojek dengan layanan yang menjadi solusi saat pandemi, seperti GoFood, Gosend dan sebagainya. 

"Tantangan kedepan akan semakin dinamis dan tuntutan dari pasar yang sudah berbeda gaya hidupnya harus mampu dipenuhi oleh Gojek maupun Grab," kata Bhima menambahkan.

Sebelumnya, Gojek telah melakukan serangkaian perubahan strategi untuk menghadapi pandemi. Salah satunya  memutuskan untuk kembali fokus pada bisnis ini. Bisnis inti tersebut meliputi bisnis transportasi, pesan-antar makanan dan uang elektronik.

Gojek juga telah menghentikan sejumlah layanan non-inti yang terdampak pandemi dan restrukturisasi organisasi secara menyeluruh demi optimalisasi pertumbuhan.

"Fokus kami adalah pada layanan inti, menghentikan layanan yang tidak dapat bertahan di tengah pandemi dan mengambil keputusan berani untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan prioritas pelanggan," jelas Chief Corporate Affairs Gojek, Nila Marita.

Sementara Grab juga melakukan berbagai upaya efisiensi untuk mengantisipasi penurunan bisnis. Salah satunya melakukan PHK terhadap 360 karyawannya. CEO dan Co Founder Grab Anthony Tan menyampaikan rasa terima kasihnya kepada 360 karyawan terdampak karena telah berkontribusi dalam membangun Grab. 

"Kepada mereka yang terdampak, kami berutang penjelasan lebih lanjut kepada Anda," tutur Tan.

Selanjutnya: Isu merger kembali menerpa, Grab dinilai lebih butuh Gojek untuk bertahan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×