Reporter: Dian Pitaloka Saraswati | Editor: Djumyati P.
Dalam perkembangan teknologi persenjataan yang makin canggih saat ini, pisau masih tetap eksis. Tidak percaya? Lihat saja pasukan militer di belahan dunia negara mana pun pasti mengantongi pisau meski ia menenteng senjata api canggih. Tidak diragukan bahwa pisau dengan segala keterbatasannya tetap dibutuhkan sebagai senjata yang patut diandalkan.
Keabadian pisau sebagai senjata bela diri inilah yang membuat Dodit T. Setyohadi, Adinur Budiono dan Dedy Dwi Putra mempelajari ilmu bela diri pisau hingga ke negeri Filipina. Di negeri tersebut mereka yang rata-rata memiliki dasar ilmu beda diri tangan kosong berlatih di Kali Eskrima dari Cacoy Doce Pares Arnis Eskrima. Mereka bertiga memperoleh pengetahuan Military Knife Fighting dari Purnawirawan Kapten Glen Gardiner dari Australian Army. Sekembalinya dari Filipina Adinur cs akhirnya mendirikan Bela Diri Pisau Taktis Indonesia (BELATI). “Senjata pisau di Indonesia banyak ragamnya, pasti teknik penggunaannya juga beragam, kami ingin menyosialisasikan dan mengembangkan ilmu leluhur ini,” kata Adinur.
Pada awal berdirinya pada tahun 2007 belum banyak yang tahu tentang Belati. Anggotanya pun hanyalah para pendirinya sendiri yang jumlahnya enam orang. Meski anggotanya sedikit justru mereka solid sebagai kelompok belajar seni bela diri pisau. Mereka masing-masing belajar pisau secara otodidak dengan bantuan buku, film dan DVD khusus yang menampilkan latihan bela diri pisau. “Kami sering ngumpul untuk diskusi dan membahas teknik baru serangan pisau,” kata Adinur. Jika sudah menemukan teknik baru, setiap akhir pekan mereka akan membahas dan mempraktekkannya bersama.
“Tidak semua teknik baru yang dihadirkan bagus dan efektif untuk diadaptasi. Jadi ada teknik yang kita buang,” kata Adinur. Sembari belajar teknik serangan akan melahirkan formulasi teknik pembelaan diri. Mereka juga tidak sembarangan mengadaptasi teknik tersebut apalagi jika hanya seni gerakannya yang ditonjolkan. Prinsip mereka adalah survival, sehingga efektivitas gerakan dan kesempurnaan gerakan baik untuk menyerang dan bertahan adalah yang terpenting. “Buat apa gerakannya cantik, kalau masih ada celah untuk mematikan gerakan tersebut,” kata Dodit menambahkan.
Selama dua hingga tiga jam mereka bertukar pikiran, ide dan gagasan untuk beberapa gerakan menyerang. Dalam diskusi tersebut mereka menganalisis setiap gerakan, dari footwork, cara berdiri, dan gerakan tangan serta posisi melindungi diri yang pas. Sebuah Teknik serangan, Adinur menjelaskan biasanya bisa diturunkan atau dikembangkan dengan variasi dan kombinasi . “Pada dasarnya hanya dua jenis serangan, menyayat dan menusuk, keduanya bisa dikombinasikan,” kata Adinur.
Mereka juga mempelajari bagian mana dari tubuh manusia yang secara cepat bisa dilumpuhkan dengan sedikit serangan. Ada titik-titik dari tubuh manusia yang vital dan tidak terlalu terlindungi yang mudah diserang. Biasanya titik tersebut adalah tempat pembuluh darah banyak berkumpul. “Karena kebetulan salah satu anggota kami, Dedy, Dokter kita jadi tahu bagian mana sih yang efektif bisa mematikan lawan,” kata Adinur.
Gerakan menyerangnya akan menjadi lebih efektif ketika mereka juga belajar cara menghindarinya. Dalam latihan biasanya mereka mempraktekkannya sendiri dengan pisau kayu. Cedera saat latihan itu mereka biasa, makanya hanya sesekali mereka menggunakan pisau sungguhan.
Setelah menemukan formulasinya, mereka menghafalkan gerakan tersebut, tidak lama, hanya 1 jam saja. Kecepatan mereka menghafal, kata Dodit, pada dasarnya karena mereka masing-masing sudah membekali diri dengan ilmu bela diri tangan kosong, seperti Karate, Aikido, Silat dan sebagainya. “Yang penting nalarnya cepat, tangkas dan olah tubuhnya cerdas,” kata Adinur.
Gerakan menusuk atau menyayat juga dipengaruhi oleh gaya. Seperti halnya dengan Pencak Silat dalam ilmu bela diri pisau ada perguruannya juga. Dasarnya dari Filipina, ada tiga gaya Sayokali, Inayan dan Flooro. Karakter ketiganya terlihat dari cara memegang pisau. “Karena gripnya beda cara mengendalikan gerakan juga beda,” kata Dodit. Gerakan serangan juga dipengaruhi bentuk pisau itu sendiri.
Selain bertukar pikiran, mendiskusikan dan mengkritisi tentang teknik bela diri pisau. Terkadang mereka juga diminta untuk melatih petugas keamanan atau perusahaan jasa keamanan. Order tersebut diterima jika memang anggota sedang tidak sibuk. Maklum, baik Adinur maupun Dodit bukan instruktur murni yang sudah profesional.
Dodit misalnya adalah produser di sebuah stasiun TV, sementara Adinur adalah wiraswasta sedangkan Dedy seorang Dokter. “Kami harus bagi waktu karena melatih orang bukan pekerjaan mudah,” kata Dodit. Dalam memberikan pelatihan mereka juga pilih-pilih, tidak sembarang perkumpulan, organisasi mereka mau latih. “Kami pernah menolak job karena kami khawatir perkumpulan tersebut bisa berlaku dengan anarkis dengan bela diri tersebut,” kata Dodit. Mereka tahu, bahwa ilmu itu menjadi hitam atau putih tergantung mentalitas dari pemakainya dan tujuannya. Namun mereka sebisa mungkin menyaringnya dengan tanggung jawab moral mereka sendiri.
Karena itu, partisipan yang bisa bergabung dalam komunitas ini tidak banyak, hanya 10 orang yang aktif. Itu pun lewat proses yang agak lama. Jika bukan rekomendasi dari anggota biasanya mereka harus mewawancarai calon partisipan terlebih dahulu. “Kami ingin tahu kepribadiannya dan latar belakangnya ia ingin belajar,” katanya.
Hampir setiap hari mereka menerima telepon dari calon partisipan yang berminat belajar pisau. Tak jarang juga mereka menolak, biasanya yang ditolak adalah anak muda atau pelajar dan orang dewasa yang tidak punya pekerjaan. “Pada dasarnya kami membuka untuk umum, tapi kami harus yakin bahwa ilmu yang kami ajarkan tidak untuk perbuatan jahat,” kata Adinur.
Anggota Belati, meski hobi dan mahir dengan pisau, tidak ada yang sudah benar-benar menerapkannya untuk berkelahi. Mereka hanya sering membawanya untuk menjaga diri. Maklum, di Indonesia, pisau adalah senjata pembunuh terbanyak dalam kasus pembunuhan.
Ke depannya, Belati berniat mempelajari ilmu menggunakan carambit. Sebelumnya mereka hanya tahu cara memainkannya ketika di Filipina, namun mereka ingin belajar ilmu beladiri dari Padang, di mana pisau berbentuk setengah lingkaran yang memiliki lingkaran seperti cincin itu lahir.”Itu secret technique dari leluhur yang saat ini belum ada yang tahu,” katanya.
Menurut Adinur, pisau Indonesia yang unik dan beragam dari berbagai suku pastinya akan melahirkan banyak teknik bela diri pisau yang variatif. Kujang, Badik, Rencong, Keris, Clurit yang merupakan buatan asli Indonesia, pada jaman dulu pasti ada teknik bela dirinya. “Akan sangat menarik karena Indonesia kaya dengan suku dan ilmu bela diri pisau. Ini patut dilestarikan karena bagian dari budaya,” kata Dodit yang kebetulan sarjana antropologi.
Kegiatan lain dari komunitas ini adalah merancang pelatihan bersama keluar negeri. April nanti mereka berencana ke Cebu, kota yang terkenal dengan ilmu bela diri pisau di Filipina.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News