Reporter: Noverius Laoli | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Pembubaran Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) yang beranggotakan enam perusahaan eksportir minyak sawit raksasa di Indonesia menimbulkan kekhawatiran bahwa produk minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) Indonesia bakal ditolak oleh pembeli di luar negeri.
Maklum, komitmen IPOP sendiri merupakan dari upaya meningkatkan citra produk CPO Indonesia di sejumlah pasar penting, seperti Uni Eropa.
Untuk itu, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kemtan) Gamal Nasir Gamal mengatakan pasca bubarnya IPOP, Kemtan tengah membuka kemungkinan untuk memasukkan prinsip-prinsip IPOP dalam standar Indonesia Suistainability Palm Oil (ISPO).
Menurut Gamal, pemerintah berkomitmen mengembangkan dan menyempurnakan program ISPO yang saat ini berlaku resmi di Indonesia.
"Prinsip IPOP sejauh itu tidak mengganggu perkebunan kelapa sawit milik petani di Indonesia bisa kami adopsi," ujarnya kepada KONTAN, Kamis (30/6).
Makanya, Gamal menegaskan pembubaran IPOP tidak akan berdampak besar pada penjualan CPO Indonesia ke luar negeri. Pasalnya, selama ini pasar ekspor CPO hanya menuntut penerapan praktik berkelanjutan dan hal ini sudah dipenuhi lewat ISPO.
Gamal bilang, sebagai pemasok CPO global terbesar di dunia, Indonesia tak perlu khawatir akan kehilangan pasar hanya karena tak lagi menerapkan standar tinggi seperti IPOP.
Menurutnya, apabila pasar ekspor turun, eksportir kelapa sawit bisa mengalihkan ke pasar domestik yang sedang menggeliat menyusul berjalannya program biodiesel.
Rudyan Kobot, Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perkebunan mengatakan, bubarnya IPOP tidak menganggu penjualan CPO Indonesia di pasar ekspor seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Menurutnya, komoditas CPO sangat dibutuhkan di banyak negara karena harganya yang kompetitif ketimbang minyak nabati lain. Untuk itu, Rudyan bilang, produk CPO Indonesia tetap menarik di pasar ekspor.
Rudyan melanjutkan, selain ISPO, Indonesia juga sudah menerapkan prinsip Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang memiliki standar lingkungan lebih tinggi ketimbang ISPO sebagai referensi kepada importir CPO. Apalagi, standar RSPO merupakan standar yang juga ditetapkan pasar ekspor secara global.
Mengandalkan RSPO
Menurut Rudyan, RSPO dan ISPO sudah lebih dari cukup untuk melawan kampanye negatif soal lingkungan yang dihembuskan sejumlah negara, terutama di Uni Eropa.
Penerapan IPOP dinilainya justru mempersulit petani kelapa sawit yang selama ini sudah terlanjur membuka kebun di lahan hutan.
Tentu saja, hal ini lambat laun akan berdampak pada mandeknya pengembangan industri kelapa sawit di Indonesia karena jumlah CPO yang diekspor semakin sedikit karena ketatnya syarat yang ditetapkan IPOP.
Alhasil, muaranya adalah minyak kedelai dan biji bunga matahari sebagai minyak nabati asli Uni Eropa bisa berjaya di negeri mereka sendiri jika produksi CPO terpuruk.
Namun, Arief Susanto, Direktur Corporate Affairs PT Cargill Indonesia mengakui bahwa masih ada pembeli CPO dari luar negeri yang tetap mencari produk CPO yang ramah lingkungan.
"Setiap eksportir kelapa sawit tetap akan mengutamakan prinsip ramah lingkungan," tuturnya.
Meski IPOP bubar, Cargill tetap menerapkan prinsip berkelanjutan sesuai ketentuan yang diatur pemerintah di sektor kelapa sawit.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News